Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ternyata Aku Keliru

15 Januari 2025   20:01 Diperbarui: 15 Januari 2025   20:01 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata Aku Keliru

Aku berdiri di ujung jalan sunyi
Ku kira ini awal perjalanan pasti
Namun langkahku terperangkap dalam ragu
Ternyata aku keliru melihat arahku
Cahaya mentari yang ku anggap penuntun
Hanya ilusi yang bersembunyi dalam kabut.

Kutatap langit biru tanpa awan
Ku kira ia menjanjikan ketenangan
Namun angin dingin menelusup hati
Ternyata aku keliru membaca tanda ini
Keheningan yang memeluk tubuhku
Menyimpan gejolak badai di baliknya.

Kupetik mawar merah di taman pagi
Ku kira ia indah karena wanginya
Namun tanganku terluka oleh pesonanya
Ternyata aku keliru menilai keindahan
Keelokan yang nampak di permukaan
Tak selalu membawa damai di jiwa.

Kusapa waktu yang berlari cepat
Ku kira ia akan menungguku di ujung hayat
Namun ia bergegas tanpa peduli
Ternyata aku keliru mengandalkan janji
Setiap detik yang berlalu begitu saja
Adalah milik yang tak pernah kembali.

Kurenungi wajah di cermin senja
Ku kira ia jujur tanpa cela
Namun bayang itu terasa asing
Ternyata aku keliru memahami diri sendiri
Siapa aku di balik senyum yang dipaksakan
Hanyalah teka-teki yang belum terpecahkan.

Kutulis sajak untuk menggapai asa
Ku kira kata-kata mampu melipur luka
Namun tinta tak bisa mengganti kenyataan
Ternyata aku keliru menaruh harapan
Puisi ini hanya gema dari kerinduan
Yang tak kunjung menjelma jadi jawaban.

Ku dengar bisikan lembut di angin malam
Ku kira itu panggilan penuh salam
Namun gema itu hanyalah mimpi semu
Ternyata aku keliru mendengar suara kalbu
Rindu yang memanggil di sudut hati
Hanya ilusi dari kesunyian yang abadi.

Kutatap bintang di gelapnya malam
Ku kira mereka pemandu yang tak pernah padam
Namun cahayanya berjarak tak tergapai
Ternyata aku keliru mendamba yang jauh
Semesta terlalu luas untuk kugenggam
Hanya sisa kecil yang bisa kujalani.

Kukumpulkan serpihan mimpi semalam
Ku kira ia membentuk kisah yang dalam
Namun potongan itu tak pernah utuh
Ternyata aku keliru mencipta harapan semu
Yang kususun hanyalah teka-teki tak lengkap
Menunggu waktu yang entah kapan menyatukan.

Kupeluk angan di tengah keheningan
Ku kira ia membawa ketenangan
Namun resah tetap menyelinap dalam dada
Ternyata aku keliru berharap pada hampa
Seperti bayangan yang hilang ditelan malam
Angan hanya meninggalkan jejak samar.

Kusentuh laut biru yang membentang
Ku kira ia akan membebaskan dari derita 
Namun ombaknya menggulung tak terduga
Ternyata aku keliru menilai kebebasan
Samudra itu menelan semua yang lemah
Dan aku hanyalah buih yang mudah pecah.

Kutemukan bunga di sudut jalan
Ku kira ia tumbuh dari tanah impian
Namun akarnya mencengkeram di kesedihan
Ternyata aku keliru membaca kehidupan
Setiap keindahan menyimpan luka tersembunyi
Yang hanya terlihat oleh mata yang mendalami.

Kuraih pelangi di langit yang redup
Ku kira ia hadiah setelah hujan hidup
Namun warnanya memudar dalam senja
Ternyata aku keliru mengira keabadian
Segala yang indah datang untuk berlalu
Hanya kenangan yang tetap tinggal di waktu.

Kubuka pintu pada setiap peluang
Ku kira di baliknya ada kebahagiaan panjang
Namun yang kutemui hanyalah jalan buntu
Ternyata aku keliru menilai takdirku
Setiap pilihan membawa beban tersendiri
Yang tak selalu ringan untuk dipikul hati.

Kusandarkan tubuh pada dinding kokoh
Ku kira ia takkan goyah oleh waktu
Namun retak-retak mulai nampak
Ternyata aku keliru memilih sandaran
Kekokohan hanyalah ilusi sementara
Yang rapuh oleh gelombang ujian hidup.

Kubisikkan doa dalam malam penuh harap
Ku kira jawabannya datang secepat kilat
Namun langit tetap sunyi tanpa suara
Ternyata aku keliru memahami sabar
Doa adalah proses yang membutuhkan waktu
Bukan sihir yang terjadi dalam satu detik.

Kuterangi langkah dengan lentera kecil
Ku kira cahayanya cukup hingga akhir
Namun ia padam oleh angin yang datang
Ternyata aku keliru menilai kekuatan
Cahaya kecil perlu perlindungan besar
Agar mampu bertahan di tengah badai.

Kunikmati hujan dengan jiwa terbuka
Ku kira ia membawa berkah tanpa cela
Namun genangan menenggelamkan langkahku
Ternyata aku keliru menilai derasnya
Hujan adalah ujian yang harus diterima
Dengan payung kesabaran yang tak tergoyah.

Kuraih tangan seseorang di persimpangan
Ku kira ia teman yang setia berjalan
Namun genggamannya terasa dingin
Ternyata aku keliru memilih kawan
Persimpangan ini menuntutku untuk sendiri
Bukan menggantungkan langkah pada orang lain.

Kukunci pintu pada keraguan yang datang
Ku kira dengan itu, aku menjadi tenang
Namun suara ketukan tetap menggema
Ternyata aku keliru menghindari rasa
Keraguan adalah bagian dari perjalanan
Yang mengajari aku arti kejujuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun