Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pena Penuh Dosa dengan Tinta Air Mata Rakyat

12 Januari 2025   22:06 Diperbarui: 12 Januari 2025   22:06 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pena Penuh Dosa dengan Tinta Air Mata Rakyat

Mereka berkumpul dalam keangkuhan yang abadi,
Di balik meja-meja mewah dengan senyum palsu yang tersembunyi.
Dengan pena dosanya mereka menggenggam takhta kekuasaan,
Dengan tinta air mata rakyat, melupakan suara yang terluka.
Walau rakyat merintih, hanya angin yang mendengarnya,
Para pemimpin tetap menulis sejarah penderitaan tanpa henti.

Mereka berkumpul dalam gemerlap yang menipu,
Berlindung di balik kertas yang tercetak rapuh.
Dengan pena dosanya mereka menorehkan ketidakadilan,
Dengan tinta air mata rakyat,  merancang masa depan dengan darah yang tak terlihat.
Walau rakyat menuntut keadilan yang tak kunjung datang,
Mereka tetap berjalan di jalan yang gelap, penuh tipu daya.

Mereka berkumpul dalam dinginnya ruang kekuasaan,
Menyaksikan rakyat terjatuh dalam lautan kesusahan.
Dengan pena dosanya mereka menandatangani perjanjian,
Yang hanya menguntungkan diri,           Dengan tinta air mata rakyat, mengorbankan harapan.
Walau rakyat tak mampu mengangkat suara,
Mereka tetap tertidur dalam kenyamanan tanpa rasa takut.

Mereka berkumpul di ruang penuh ketakutan,
Menghitung kekayaan, melupakan darah yang tumpah.
Dengan pena dosanya mereka menulis keputusan-keputusan,
Dengan tinta air mata rakyat, tanpa memikirkan akibat bagi yang terpinggirkan.
Walau rakyat terus berjuang dalam keputusasaan,
Mereka tetap bersenandung, tanpa peduli jeritan mereka.

Mereka berkumpul dalam bayang-bayang kedok kebenaran,
Menjaga rahasia di balik senyum yang tak tulus.
Dengan pena dosanya mereka menyalurkan kebohongan,
Dengan tinta air mata rakyat, menuliskan kisah yang tak pernah mereka alami.
Walau rakyat menangis tanpa tahu arah,
Pemimpin tetap membungkam suara yang tercekik.

Mereka berkumpul dalam kesunyian yang menyesatkan,
Menyusun taktik di balik tirai besi yang kokoh.
Dengan pena dosanya mereka menciptakan jurang perbedaan,
Dengan tinta air mata rakyat, meninggalkan yang lemah tanpa harapan dan perlindungan.
Walau rakyat terus merintih, sepi dan terlupakan,
Mereka tetap tertawa, tak peduli pada luka yang menganga.

Mereka berkumpul dalam kemewahan yang menggelapkan mata,
Membangun dinding tinggi agar tak melihat penderitaan.
Dengan pena dosanya mereka mengesahkan penderitaan,
Dengan tinta air mata rakyat, melupakan  janji yang pernah mereka ucapkan di masa lalu.
Walau rakyat mengais-ngais sisa kehidupan,
Para pemimpin tetap sibuk dengan pesta dan penguasaannya.

Mereka berkumpul dalam kegelapan yang tak terbaca,
Menjaga posisi dengan segala cara yang kejam.
Dengan pena dosanya mereka merancang kebijakan,
Yang hanya menguntungkan segelintir orang di puncak kuasa.
Walau rakyat berteriak di bawah beban yang berat,
Pemimpin tetap abai, terlalu sibuk dengan urusan mereka.

Mereka berkumpul dalam ketakutan yang membelenggu,
Menyembunyikan kebenaran di balik kabut kebohongan.
Dengan pena dosanya mereka menandatangani kebijakan,
Yang menghancurkan impian orang-orang yang kelaparan.
Walau rakyat tak bisa lagi menangis,
Para pemimpin tetap berjalan di jalan yang salah.

Mereka berkumpul dalam bayangan kekuasaan yang rapuh,
Memainkan taktik licik untuk menjaga kenyamanan mereka.
Dengan pena dosanya mereka menciptakan ketidakadilan,
Menyembunyikan kebusukan di balik hukum yang dipelintir.
Walau rakyat menggadaikan harapan,
Mereka tetap tak terpengaruh oleh derita yang mendalam.

Mereka berkumpul dalam cerminan dosa yang tak terhapus,
Menyusun masa depan dengan darah yang tercurah.
Dengan pena dosanya mereka menuliskan keputusasaan,
Menghancurkan setiap harapan yang sempat tumbuh.
Walau rakyat terus bertahan dalam kemiskinan,
Para pemimpin terus melangkah tanpa peduli.

Mereka berkumpul dalam pesta yang tak pernah selesai,
Melupakan mereka yang terpuruk dalam kegelapan.
Dengan pena dosanya mereka mencetak kesengsaraan,
Mengejar kekuasaan yang tak akan pernah mereka bagikan.
Walau rakyat menangis dalam keputusasaan,
Mereka tetap berlindung di balik suara-suara palsu.

Mereka berkumpul dalam pengkhianatan yang tak terungkap,
Menjaga diri dengan membungkam segala protes.
Dengan pena dosanya mereka menandatangani kutukan,
Yang mengikat hidup rakyat dalam kebodohan.
Walau rakyat mencoba melawan,
Mereka tetap buta, tak ingin melihat kebenaran.

Mereka berkumpul dalam kebohongan yang terus tumbuh,
Membangun kerajaan dari penderitaan yang diciptakan.
Dengan pena dosanya mereka menulis sejarah,
Yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Walau rakyat terus menderita dalam diam,
Para pemimpin tak pernah menoleh ke belakang.

Mereka berkumpul dalam kebijakan yang tak berbunyi,
Menyaksikan rakyat tersesat tanpa arah dan tujuan.
Dengan pena dosanya mereka merancang nasib,
Menghapus setiap mimpi yang tumbuh dalam kegelapan.
Walau rakyat terpuruk dalam keterbelakangan,
Mereka tetap menikmati kenyamanan yang tak seharusnya.

Mereka berkumpul dalam dunia yang penuh dusta,
Menyembunyikan kebenaran di balik gedung-gedung tinggi.
Dengan pena dosanya mereka mencetak masa depan,
Yang hanya berisi air mata dan keputusasaan.
Walau rakyat terus berjuang untuk hidup,
Mereka tetap bertahan, tak peduli pada penderitaan yang ada.

Mereka berkumpul dalam kedamaian yang palsu,
Menyusun janji-janji yang tak pernah ditepati.
Dengan pena dosanya mereka mengabadikan ketidakadilan,
Meninggalkan rakyat tanpa perhatian, tanpa kasih sayang.
Walau rakyat mencari cahaya,
Mereka tetap terjebak dalam kegelapan kebohongan.

Mereka berkumpul dalam tawa yang hampa,
Menertawakan penderitaan yang mereka ciptakan.
Dengan pena dosanya mereka terus menulis takdir,
Yang menghancurkan mimpi rakyat yang tak punya suara.
Walau rakyat berjuang dengan segala daya,
Mereka tetap mengukir sejarah dengan dosa yang tak terhapus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun