Pena Penuh Dosa dengan Tinta Air Mata Rakyat
Mereka berkumpul dalam keangkuhan yang abadi,
Di balik meja-meja mewah dengan senyum palsu yang tersembunyi.
Dengan pena dosanya mereka menggenggam takhta kekuasaan,
Dengan tinta air mata rakyat, melupakan suara yang terluka.
Walau rakyat merintih, hanya angin yang mendengarnya,
Para pemimpin tetap menulis sejarah penderitaan tanpa henti.
Mereka berkumpul dalam gemerlap yang menipu,
Berlindung di balik kertas yang tercetak rapuh.
Dengan pena dosanya mereka menorehkan ketidakadilan,
Dengan tinta air mata rakyat, Â merancang masa depan dengan darah yang tak terlihat.
Walau rakyat menuntut keadilan yang tak kunjung datang,
Mereka tetap berjalan di jalan yang gelap, penuh tipu daya.
Mereka berkumpul dalam dinginnya ruang kekuasaan,
Menyaksikan rakyat terjatuh dalam lautan kesusahan.
Dengan pena dosanya mereka menandatangani perjanjian,
Yang hanya menguntungkan diri, Â Â Â Â Â Dengan tinta air mata rakyat, mengorbankan harapan.
Walau rakyat tak mampu mengangkat suara,
Mereka tetap tertidur dalam kenyamanan tanpa rasa takut.
Mereka berkumpul di ruang penuh ketakutan,
Menghitung kekayaan, melupakan darah yang tumpah.
Dengan pena dosanya mereka menulis keputusan-keputusan,
Dengan tinta air mata rakyat, tanpa memikirkan akibat bagi yang terpinggirkan.
Walau rakyat terus berjuang dalam keputusasaan,
Mereka tetap bersenandung, tanpa peduli jeritan mereka.
Mereka berkumpul dalam bayang-bayang kedok kebenaran,
Menjaga rahasia di balik senyum yang tak tulus.
Dengan pena dosanya mereka menyalurkan kebohongan,
Dengan tinta air mata rakyat, menuliskan kisah yang tak pernah mereka alami.
Walau rakyat menangis tanpa tahu arah,
Pemimpin tetap membungkam suara yang tercekik.
Mereka berkumpul dalam kesunyian yang menyesatkan,
Menyusun taktik di balik tirai besi yang kokoh.
Dengan pena dosanya mereka menciptakan jurang perbedaan,
Dengan tinta air mata rakyat, meninggalkan yang lemah tanpa harapan dan perlindungan.
Walau rakyat terus merintih, sepi dan terlupakan,
Mereka tetap tertawa, tak peduli pada luka yang menganga.
Mereka berkumpul dalam kemewahan yang menggelapkan mata,
Membangun dinding tinggi agar tak melihat penderitaan.
Dengan pena dosanya mereka mengesahkan penderitaan,
Dengan tinta air mata rakyat, melupakan  janji yang pernah mereka ucapkan di masa lalu.
Walau rakyat mengais-ngais sisa kehidupan,
Para pemimpin tetap sibuk dengan pesta dan penguasaannya.
Mereka berkumpul dalam kegelapan yang tak terbaca,
Menjaga posisi dengan segala cara yang kejam.
Dengan pena dosanya mereka merancang kebijakan,
Yang hanya menguntungkan segelintir orang di puncak kuasa.
Walau rakyat berteriak di bawah beban yang berat,
Pemimpin tetap abai, terlalu sibuk dengan urusan mereka.
Mereka berkumpul dalam ketakutan yang membelenggu,
Menyembunyikan kebenaran di balik kabut kebohongan.
Dengan pena dosanya mereka menandatangani kebijakan,
Yang menghancurkan impian orang-orang yang kelaparan.
Walau rakyat tak bisa lagi menangis,
Para pemimpin tetap berjalan di jalan yang salah.
Mereka berkumpul dalam bayangan kekuasaan yang rapuh,
Memainkan taktik licik untuk menjaga kenyamanan mereka.
Dengan pena dosanya mereka menciptakan ketidakadilan,
Menyembunyikan kebusukan di balik hukum yang dipelintir.
Walau rakyat menggadaikan harapan,
Mereka tetap tak terpengaruh oleh derita yang mendalam.