Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pengkhianat

12 Januari 2025   01:53 Diperbarui: 12 Januari 2025   01:53 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Ayo Jakarta)

Pengkhianat

Dia datang membawa janji surga,
Dia bersumpah atas nama kita semua.
Melayangkan harapan, membangun percaya,
Ternyata, janji hanyalah fatamorgana,
Segalanya semu dalam kata,
Rakyat hanya pion dalam drama.

Dia berdiri di atas mimbar tinggi,
Dia bicara lantang tentang hidup abadi.
Menyulut semangat yang seakan pasti,
Ternyata, api itu hanya ilusi,
Menghanguskan mimpi, bukan membakar visi,
Rakyat menangis di bawah janji.

Dia tunjukkan wajah yang penuh senyum,
Dia tatap mata dengan janji mulus seperti permata.
Mengundang cinta, mengikat hati kita,
Ternyata, senyum itu bertopeng dusta,
Di baliknya, gelap menyergap cahaya,
Rakyat terluka, hati remuk tak bersisa.

Dia bicara tentang keadilan abadi,
Dia mengangkat sumpah di bawah langit saksi.
Menawarkan dunia yang katanya lebih pasti,
Ternyata, keadilan hanya ada dalam mimpi,
Hukum diperdagangkan tanpa simpati,
Rakyat terpinggirkan dalam tragedi.

Dia berdiri gagah dengan mahkota kuasa,
Dia mengayun langkah seakan penuh makna.
Menjanjikan kejayaan tanpa cela,
Ternyata, kuasa hanya alat tipu daya,
Kejayaan berubah jadi nestapa,
Rakyat hanya angka dalam statistik belaka.

Dia berbicara tentang kemakmuran bersama,
Dia merangkai kata yang menjanjikan surga dunia.
Seolah semua akan berubah dalam sekejap mata,
Ternyata, kemakmuran hanya untuk para penguasa,
Rakyat terpinggir, tersingkir dari meja,
Kecewa menyelimuti setiap jiwa.

Dia mencipta visi tentang masa depan cerah,
Dia berkata mimpi rakyat takkan patah.
Mengobarkan api semangat yang berarak,
Ternyata, semua hanyalah jejak langkah,
Yang menuntun kita pada jurang yang parah,
Rakyat terjatuh dalam derita yang mewah.

Dia mengibarkan bendera harapan tinggi,
Dia memanggil rakyat dengan suara penuh arti.
Seakan bersama, kita bangun negeri ini,
Ternyata, bendera hanya penutup diri,
Kebenaran dikubur dalam diam yang sunyi,
Rakyat terabaikan, suara hilang tak berarti.

Dia berdiri di depan seolah pelindung,
Dia bawa pedang keadilan yang katanya agung.
Namun tindakannya hanya menusuk punggung,
Ternyata, dia hanyalah pengkhianat agung,
Menjual negeri dengan harga murahan,
Rakyat hanya penonton dalam permainan.

Dia berjalan megah di istana berdinding emas,
Dia menatap rakyat seolah penuh belas.
Namun di dalam hati hanya tipu dan culas,
Ternyata, emas itu hasil dari penjarahan bebas,
Kekayaan negeri dipindahkan tanpa batas,
Rakyat menangis, darah dan air mata deras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun