Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Perkasa Akhirnya Tak Berdaya

11 Januari 2025   22:07 Diperbarui: 11 Januari 2025   22:07 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Pikbest)

Sang Perkasa Akhirnya Tak Berdaya

Di atas tahta megah ia bersandar,
Memandang dunia dengan tatapan tajam.
Segala pujian mengelilingi keagungannya,
Namun di dalam hati, resah tak terucap.
Kekuasaan membebani pundak yang lelah,
Meninggalkan bayang-bayang keraguan.

Di atas medan perang ia berdiri tegap,
Menantang musuh dengan keberanian.
Sorak sorai mengiringi langkahnya maju,
Namun suara dalam batin memudar perlahan.
Ia merasa sendiri di tengah keramaian,
Diburu waktu yang tak kenal belas kasih.

Di atas mimbar ia mengucap janji,
Menghidupkan harapan dalam hati rakyatnya.
Keyakinannya seolah tak tergoyahkan,
Namun gema jiwanya terdengar hampa.
Kata-kata yang dulu membawa cahaya,
Kini tak lebih dari bisikan tak bermakna.

Di atas bukit ia memandang cakrawala,
Mengikuti bayangan impian masa lalu.
Langit luas terasa begitu jauh darinya,
Namun tangan tak mampu menggapainya lagi.
Segala yang ia bangun mulai runtuh,
Seperti istana pasir di tepi laut.

Di atas lembah ia mendengar nyanyian,
Merdu, namun penuh kesedihan tersembunyi.
Itu adalah suara mereka yang ia abaikan,
Namun kini menjadi bagian dari mimpinya.
Sang perkasa tak lagi mampu berdiri,
Tersungkur dalam luka yang tak terlihat.

Di atas hamparan rumput ia berjalan sendiri,
Meninggalkan keramaian yang tak lagi berarti.
Hatinya mencari jawaban dalam keheningan,
Namun kenyataan terus menghantamnya.
Segala yang ia genggam mulai pudar,
Meninggalkan kehampaan dalam genggamannya.

Di atas permukaan sungai ia melihat bayang,
Refleksi dirinya yang penuh luka.
Ia bertanya pada arus yang terus mengalir,
Namun jawaban hanya datang dalam bisu.
Waktu tak pernah menunggu siapa pun,
Bahkan sang perkasa harus menyerah padanya.

Di atas langit malam ia mencari bintang,
Namun hanya awan gelap yang menyelimutinya.
Kegelapan membawa rasa takut yang nyata,
Namun ia sadar, tak ada lagi tempat bersembunyi.
Bayangan hidupnya menjadi pemandu,
Mengingatkannya pada dosa yang ia pikul.

Di atas tanah kering ia berlutut pasrah,
Menyentuh bumi yang ia injak dengan sombong.
Ia memohon maaf pada mereka yang terluka,
Namun kata-katanya tenggelam dalam keheningan.
Penyesalan menghantui setiap langkahnya,
Mengukir jejak yang sulit untuk dihapus.

Di atas singgasana ia akhirnya terdiam,
Memandang mahkota yang kini terasa berat.
Segala yang ia anggap sebagai kekuatan,
Kini berubah menjadi belenggu yang menyiksa.
Sang perkasa telah kehilangan dirinya,
Meninggalkan raga tanpa semangat.

Di atas panggung dunia ia pernah berjaya,
Menerima pujian yang tak berkesudahan.
Namun ketika tabir diturunkan oleh waktu,
Ia hanya seorang manusia yang penuh dosa.
Kekuatan ternyata hanyalah ilusi semu,
Yang memudar bersama hembusan angin.

Di atas harapan ia membangun istana,
Namun fondasinya rapuh oleh keserakahan.
Segala yang ia capai perlahan menghilang,
Namun pelajaran datang dari kehancuran.
Ia akhirnya memahami makna keberadaan,
Bahwa kekuatan sejati adalah kebijaksanaan.

Di atas altar kesucian ia menunduk,
Berdoa untuk jiwa yang pernah ia lupakan.
Tangisnya mengalir bersama aliran waktu,
Namun pengampunan adalah jalan yang terjal.
Sang perkasa kini mengakui kelemahan,
Memahami bahwa cinta adalah kekuatan abadi.

Di atas lembah hijau ia menutup mata,
Merasakan kedamaian yang tak pernah ia kenal.
Angin membawa suara lembut yang menenangkan,
Namun hati tetap berisi penyesalan.
Ia sadar bahwa hidup adalah perjalanan,
Bukan sekadar perebutan tahta dan kekuasaan.

Di atas pusaranya tertulis sebuah nama,
Sang perkasa yang pernah menjadi legenda.
Namun di hati banyak orang ia dikenang,
Sebagai sosok yang belajar dari keterpurukan.
Bukan lagi tentang kekuatan fisik semata,
Melainkan kebesaran hati yang ia temukan.

Di atas dunia yang terus bergerak maju,
Ia meninggalkan warisan berupa pelajaran.
Bahwa kekuatan harus disertai dengan kasih,
Dan kejayaan tak berarti tanpa kemanusiaan.
Sang perkasa yang dahulu tak terkalahkan,
Kini menjadi simbol keabadian cinta.

Di atas cerita yang diwariskan pada generasi,
Namanya hidup sebagai peringatan.
Bahwa manusia adalah makhluk yang rapuh,
Namun memiliki kekuatan untuk berubah.
Sang perkasa yang tak berdaya akhirnya sadar,
Bahwa akhir hanyalah awal dari kebijaksanaan.

Di atas segala kehilangan ia menemukan,
Bahwa cinta tak memerlukan mahkota.
Ia meninggalkan dunia dengan senyum damai,
Menemukan arti hidup yang selama ini hilang.
Sang perkasa akhirnya menjadi manusia,
Yang belajar mencintai dalam segala keterbatasan.

Di atas puncak tertinggi ia telah berdiri,
Kini ia memilih untuk turun dengan tenang.
Perjalanan hidupnya menjadi pelajaran berharga,
Bahwa kebijaksanaan lahir dari kehancuran.
Sang perkasa yang dulu tak tersentuh oleh waktu,
Kini menjadi abadi dalam kenangan yang tulus.

Di atas segalanya, ia akhirnya mengerti,
Bahwa kekuatan sejati bukan pada otot atau pedang.
Melainkan pada hati yang tulus mencintai,
Dan keberanian untuk menerima kelemahan.
Sang perkasa yang pernah ditakuti dunia,
Kini dikenang sebagai jiwa yang menemukan makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun