Di persimpangan waktu aku berdiri,
Mencari arah yang tak pernah pasti,
Hembusan angin membawa jerit sepi,
Langit kelam, mentari tak lagi beri arti,
Ragam mimpi terhempas tanpa peduli,
Aku tersingkir, menjadi bayang yang mati.
Langkah-langkahku berat tanpa jejak,
Jalan yang dulu terang kini gelap pekat,
Rintik hujan memeluk tubuh yang retak,
Dingin menusuk, harapan kian membiak,
Hanya rindu pada cahaya yang meriak,
Namun waktu menjauh, aku kian terdesak.
Suara dunia berlalu tak lagi bersapa,
Bisikan hati perlahan menjadi fana,
Mimpi-mimpi yang dulu benderang nyata,
Kini sirna, terselip di sudut luka,
Aku berjalan tanpa tujuan yang nyata,
Menghitung setiap detik yang kian fana.
Aku bertanya pada bayang di kaca,
"Adakah tempat untuk jiwa yang lelah?"
Jawaban hening mengiris raga yang luka,
Ke mana harus kupergi membawa resah,
Saat dunia terlalu sempit untuk semua,
Aku tersingkir di balik tirai gelisah.
Waktu mencibir dengan langkah pasti,
Menghancurkan mimpi yang dulu berarti,
Aku tersungkur, membungkuk di sisi,
Mengais sisa harapan dalam nurani,
Namun cahaya perlahan mengkhianati,
Tersingkir aku, bagai daun mati.
Di hamparan luas, aku merasa sempit,
Beban berat menggantung dalam batin,
Jerit hati terbungkam angin yang menghimpit,
Sendiri di ruang yang kian meringis,
Tak ada sahabat, tak ada tangan merintih,
Aku bagai perahu yang tak punya dinding.
Namun di balik kelam, cahaya kecil menyala,
Menerangi luka dengan sinar yang fana,
Ia berkata, "Bangkitlah dari dera,
Jangan biarkan malam selamanya meraja,
Sebab dalam jatuh ada arti bahagia,
Tersingkir bukan akhir dari cerita."
Aku mencoba merangkai langkah yang hilang,
Menata kembali hati yang usang,
Dalam kesunyian yang menusuk terang,
Kumulai melawan gelap yang terbelenggu,
Sebab dunia ini tak pernah benar-benar tenang,
Dan setiap luka hanya menguatkan aku.
Langit memudar, tapi asa mulai membara,
Aku berdiri meski luka masih terasa,
Menerjang badai yang terus menghempas jiwa,
Sebab tersingkir bukan akhir segalanya,
Aku percaya setiap langkah punya cerita,
Dan di balik gelap, selalu ada cahaya.
Lalu kutatap jalan panjang tak bertepi,
Di sana ada mimpi, walau tersembunyi,
Meski dunia tak lagi ramah memberi,
Aku berjanji tak lagi akan berhenti,
Dalam luka, kutemukan arti sejati,
Tersingkir ini menguatkan hati.
Angin berhembus, membawa harum janji,
Bahwa tiap malam pasti diganti pagi,
Aku menata puing-puing dalam nurani,
Berjuang meski sendiri, tanpa henti,
Tak peduli sejauh apa dunia pergi,
Aku masih ada, melawan sunyi.
Setiap luka membentuk sayap tak terlihat,
Membawa diriku terbang lebih dekat,
Ke tempat di mana mimpiku erat,
Bukan pada dunia yang penuh pekat,
Tersingkir memang menyakitkan berat,
Namun darinya kutemukan langkah yang kuat.
Dalam sunyi, kurangkai doa yang tulus,
Menitipkan harap pada langit yang halus,
Sebab aku tahu, meski badai mengarus,
Tak ada perjuangan yang benar-benar pupus,
Tersingkir hanya permulaan yang berarus,
Dan hidup selalu menyimpan rahasia terus.
Kini aku berdiri di antara dua dunia,
Yang dulu menyakitkan dan yang penuh asa,
Aku melihat bayangku yang dulu terluka,
Kini menjadi kenangan penuh makna,
Tersingkir telah mengajarkan sebuah cerita,
Bahwa kekuatan lahir dari rasa hampa.
Di balik luka, aku temukan senyum sendiri,
Tertawa pada dunia yang dulu mencaci,
Sebab aku tahu, bukan mereka yang berarti,
Melainkan diriku, meski jatuh berkali,
Tersingkir adalah perjalanan yang melatih diri,
Untuk menjadi cahaya yang tak pernah mati.
Langkahku kini mantap di atas tanah,
Menatap dunia tanpa rasa resah,
Sebab tersingkir tak lagi membuatku lelah,
Aku berdiri di balik tiap kisah,
Tertawa pada rintangan yang tak pernah sudah,
Sebab aku telah menjadi jiwa yang tabah.
Angin kembali berhembus membawa pesan,
Bahwa dunia ini hanyalah perjalanan,
Tak peduli seberapa keras rintangan,
Aku percaya pada tiap titisan perjuangan,
Tersingkir hanya bagian kecil pengalaman,
Yang kini kupeluk dengan penuh kesadaran.
Aku berjalan, kini tanpa takut lagi,
Sebab langkahku milik hati sendiri,
Tak perlu lagi dunia untuk mengerti,
Sebab tersingkir telah membuatku berdiri,
Lebih kokoh, lebih tinggi, lebih berarti,
Aku adalah diriku, tanpa kompromi.
Jika dunia mencoba menjatuhkan lagi,
Aku tahu, aku tak akan berhenti,
Tersingkir telah menjadi bagian diri,
Mengukir kekuatan di dalam hati,
Aku adalah pelaut di laut sepi,
Yang menemukan pulau di ujung mimpi.
Kini aku berdiri dengan kepala tegak,
Melihat dunia yang dulu terasa gelap,
Aku tersingkir, tapi tak lagi meratap,
Sebab dari luka, aku kini lengkap,
Tersingkir bukan akhir yang merenggut napas,
Melainkan awal perjalanan yang lebih mantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H