Para tunawisma ini sering kali terpinggirkan, dilupakan oleh masyarakat yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Anak-anak kecil tidur di atas kardus, bermimpi tentang rumah yang hangat yang mungkin tidak akan pernah mereka miliki. Di sudut-sudut kota ini, rasa kemanusiaan diuji, tetapi sering kali gagal. Keheningan malam yang indah berubah menjadi cermin suram dari kegagalan kolektif kita untuk melindungi yang paling rentan.
Teknologi, sang dewa baru, menawarkan janji-janji.
Teknologi telah menjadi wajah kemajuan, menggantikan kepercayaan kuno dengan kemilau inovasi. Namun, janji-janji yang diberikannya sering kali disertai harga yang mahal. Ketergantungan manusia pada mesin tumbuh dengan pesat. Orang-orang menyerahkan keputusan mereka kepada algoritma, membiarkan kecerdasan buatan menentukan arah kehidupan mereka.
Di satu sisi, teknologi menawarkan kemudahan. Dalam hitungan detik, informasi yang dulu memakan waktu berbulan-bulan untuk ditemukan kini dapat diakses dari ujung jari. Tapi di sisi lain, manusia kehilangan kendali. Ketergantungan yang dalam pada teknologi menciptakan ketidakberdayaan. Jika mesin berhenti, roda kehidupan pun seolah ikut terhenti. Lebih parah lagi, teknologi menciptakan jurang antara mereka yang mampu mengaksesnya dengan mereka yang tertinggal, memperbesar ketimpangan sosial dan ekonomi.
Di ruang kelas, buku-buku tertutup oleh debu.
Pendidikan, fondasi peradaban, perlahan menjadi barang mewah. Di berbagai belahan dunia, anak-anak berjalan bermil-mil untuk mencapai sekolah yang rusak dan tidak layak. Buku-buku yang dulu menjadi jendela ke dunia kini tertutup oleh debu ketidakpedulian. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai hak, melainkan sebagai privilese yang hanya dimiliki oleh segelintir orang.
Di kota-kota besar, sekolah-sekolah elit menawarkan fasilitas canggih dengan biaya yang hanya mampu dijangkau oleh kalangan tertentu. Sementara itu, di pedesaan atau wilayah tertinggal, anak-anak belajar di bawah pohon dengan papan tulis seadanya. Ketidakadilan ini menciptakan lingkaran kebodohan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di meja perundingan dunia, para pemimpin saling tuding.
Konferensi global, yang seharusnya menjadi ajang solusi, sering kali berakhir tanpa hasil konkret. Para pemimpin dunia, dengan pidato megah dan bahasa diplomatis, saling menyalahkan tanpa mengakui tanggung jawab. Meja perundingan yang megah berubah menjadi arena drama politik, di mana kepentingan nasional lebih diutamakan daripada kesejahteraan global.
Krisis iklim, konflik bersenjata, dan ketidakadilan ekonomi menjadi isu yang terus dibahas tanpa penyelesaian. Janji-janji perubahan hanyalah angin lalu, diulang tanpa pernah direalisasikan. Dunia terus bergerak ke arah kehancuran, sementara para pemimpin hanya berdiri sebagai penonton pasif yang sibuk melindungi kursi kekuasaan mereka.
 Ketimpangan ekonomi adalah jurang yang makin dalam.
Ketimpangan antara yang kaya dan miskin telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, pesta-pesta mewah berlangsung di gedung pencakar langit, dengan makanan dan minuman mahal yang melimpah. Di sisi lain, jutaan orang berebut sisa-sisa makanan di tempat pembuangan sampah. Jurang ekonomi ini menciptakan dinding yang tidak terlihat, memisahkan manusia berdasarkan akses terhadap kekayaan.
Di pasar-pasar tradisional, orang-orang berjuang untuk membeli kebutuhan pokok yang semakin mahal. Sementara itu, para konglomerat terus menumpuk kekayaan, sering kali dengan mengorbankan mereka yang paling rentan. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga menanam bibit-bibit konflik sosial yang berbahaya.
 Tahun ini, cinta pun kehilangan maknanya.
Cinta, yang seharusnya menjadi jawaban atas kebencian dan kekerasan, perlahan kehilangan artinya. Perdagangan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, dan pengkhianatan menjadi noda hitam di hati umat manusia. Dalam dunia yang serba cepat ini, cinta sering kali direduksi menjadi transaksi, diukur dengan materi daripada ketulusan.
Di layar-layar media sosial, cinta menjadi konten untuk dijual. Pasangan menunjukkan kebahagiaan palsu untuk mendapat pengakuan, sementara di balik layar, banyak yang menderita dalam diam. Ketulusan digantikan oleh kepalsuan, dan cinta, yang seharusnya menjadi cahaya, meredup di tengah dunia yang semakin gelap.