Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marilah Kita ke Betlehem, Kota yang Dihancurkan oleh Angkara Murka : Renungan Natal 2024

26 Desember 2024   11:40 Diperbarui: 27 Desember 2024   10:49 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marilah  Kita ke Betlehem, Kota yang Dihancurkan oleh Angkara Murka : Renungan Natal 2024

 Betlehem. Kota kecil yang namanya bergema hingga ke ujung dunia. Di sanalah Sang Juru Selamat lahir dalam kesederhanaan yang luar biasa. Natal selalu mengajak kita untuk kembali mengingat makna kelahiran itu, namun tahun ini, ada renungan lebih dalam yang mengemuka: Betlehem yang damai kini menjadi simbol kehancuran karena ego dan nafsu  manusia.

Betlehem dahulu adalah simbol kebersahajaan, kota kecil di tengah perbukitan Yudea yang menjadi saksi kelahiran Yesus Kristus. Namun lihatlah kini, konflik berkepanjangan telah menjadikannya tempat yang dipenuhi ketegangan, ketidakpastian, dan air mata. Pertikaian politik, perang, dan hasrat kuasa telah menghapus keteduhan yang dulu menaungi kota itu.

Manusia, dengan egonya, selalu ingin mendominasi. Ego itu yang membuat kita lupa bahwa Betlehem adalah tempat di mana cinta sejati hadir dalam rupa bayi kecil di palungan. Ego telah menghancurkan kota suci ini, membuatnya menjadi ladang pertempuran. Namun, Natal kali ini mengingatkan kita bahwa kehancuran akibat ego dapat dipulihkan oleh cinta yang tulus.

Mengapa kita terus saling menyakiti? Betlehem adalah pengingat bahwa Sang Mesias tidak datang membawa pedang, melainkan damai. Tetapi manusia sering lebih memilih pedang daripada pelukan. Kita terjebak dalam lingkaran ego yang menjadikan kekuasaan lebih penting daripada kemanusiaan, dan Betlehem kini menjadi saksi bisu kehancuran itu.

Bayangkan malam pertama di Betlehem, saat Maria dan Yusuf berjuang mencari tempat berlindung. Kesederhanaan palungan di kandang itu mengajarkan kita bahwa kemuliaan sejati tidak membutuhkan kemegahan. Namun sekarang, ego manusia telah mengubah Betlehem menjadi arena perebutan. Kekudusannya ternodai oleh kebencian dan keserakahan.

Dalam perenungan ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah ego kita juga menghancurkan "Betlehem" dalam hati kita? Apakah kita masih memiliki ruang untuk cinta, pengampunan, dan pengorbanan seperti yang diteladankan Sang Bayi Natal? Atau kita telah mengusirnya dengan ambisi dan kebencian?

Natal mengingatkan kita untuk kembali ke palungan, ke tempat kesederhanaan, di mana cinta Allah dinyatakan tanpa pamrih. Di tengah dunia yang diliputi ego, Natal memanggil kita untuk mengosongkan diri, menjadi palungan yang siap menerima Sang Kristus.

Betlehem bukan hanya sebuah kota di tanah Palestina. Ia adalah cerminan hati kita. Ketika hati kita dikuasai ego, ia menjadi medan pertempuran, penuh dengan luka dan kehancuran. Tetapi ketika kita mengizinkan kasih Allah memerintah, hati kita menjadi Betlehem sejati: tempat kelahiran damai dan harapan.

Di tengah gegap gempita perayaan Natal, mari kita berhenti sejenak. Dengarkan panggilan lembut dari Betlehem. Ia berkata: "Datanglah, bukan dengan kebanggaan, tetapi dengan hati yang terbuka." Betlehem mengajarkan bahwa kemuliaan Allah ditemukan dalam kerendahan hati, bukan dalam kekuasaan atau harta.

Seperti para gembala yang mendengar kabar sukacita, kita juga diundang untuk datang. Tetapi perjalanan ke Betlehem adalah perjalanan melawan ego. Ini adalah perjalanan yang mengajarkan kita untuk memaafkan, mengasihi, dan melayani dengan tulus.

Dalam palungan, Yesus tidak hanya memberikan teladan cinta, tetapi juga tantangan. Tantangan untuk mengasihi musuh, berbagi dengan yang membutuhkan, dan hidup dalam kebenaran. Natal mengajak kita untuk menerima tantangan ini dan menjadikan hati kita palungan bagi kasih Allah.

Namun, perjalanan ini tidak mudah. Kita hidup di dunia yang merayakan egoisme. Dunia yang mengukur kesuksesan dari seberapa besar kuasa dan harta yang dimiliki. Tetapi Natal adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam hal-hal itu, melainkan dalam cinta yang kita bagikan.

Ketika kita kembali ke Betlehem, kita juga diajak untuk melihat realitas dunia. Kota itu menjadi simbol kehancuran, tetapi juga harapan. Di tengah reruntuhan, Betlehem tetap menyimpan cerita tentang cinta yang lahir untuk menyelamatkan dunia.

Natal ini, mari kita membawa harapan ke Betlehem, baik dalam arti harfiah maupun simbolis. Berdoalah untuk perdamaian di tanah suci itu. Tetapi lebih dari itu, jadilah pembawa damai di sekitar kita. Jadikan hati kita tempat di mana orang lain dapat menemukan harapan dan cinta.

Betlehem mengingatkan kita bahwa damai bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Damai adalah hasil dari pilihan-pilihan kecil untuk mengasihi, bahkan ketika itu sulit. Natal mengajak kita untuk membuat pilihan-pilihan itu setiap hari.

Ketika kita memandang palungan, kita diingatkan bahwa Sang Bayi Natal tidak datang untuk meraih kekuasaan duniawi. Ia datang untuk memberi damai yang melampaui segala akal. Damai itu hanya dapat kita terima jika kita bersedia melepaskan ego kita.

Natal adalah panggilan untuk kembali kepada esensi hidup: mencintai Tuhan dan sesama. Nafsu telah menghancurkan dunia, tetapi cinta dapat memulihkannya. Cinta yang dimulai di Betlehem, lebih dari dua ribu tahun yang lalu.

Ayolah ke Betlehem, bukan hanya dengan langkah kaki, tetapi dengan hati. Betlehem mengundang kita untuk menemukan kembali makna sejati Natal: pengorbanan, kesederhanaan, dan cinta.

Mari tinggalkan ego di belakang dan berjalan menuju cahaya bintang itu. Di sana, di palungan kecil, kita akan menemukan damai yang sejati. Damai yang ditawarkan kepada semua orang, tanpa kecuali.

Natal ini, jadilah Betlehem bagi dunia. Jadilah tempat di mana cinta lahir kembali, melampaui ego dan kebencian. Hanya dengan begitu, dunia akan benar-benar mengalami makna Natal yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun