Ego mulai merenungkan hubungannya dengan kuasa ilahi. "Jika Aku adalah ciptaan, maka mungkin Aku memiliki tujuan yang lebih mulia daripada sekadar berusaha menjadi tuhan." Ia merasa ada cahaya kecil yang mulai menyala dalam dirinya, memberikan arah baru yang selama ini ia abaikan.
Tetapi perjalanan itu belum selesai. Ego masih harus menghadapi sisa-sisa kesombongannya, yang terus berbisik bahwa ia bisa lebih dari sekadar ciptaan. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk menyerah pada kebenaran yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Ia berdialog dengan akalnya, bertanya, "Apakah menyerah adalah kelemahan?" Akalnya menjawab dengan jujur, "Menyerah pada kebenaran adalah kekuatan. Kau tidak kehilangan dirimu, kau justru menemukannya." Kata-kata itu memberikan Ego keberanian untuk melangkah ke arah yang baru.
Dalam keheningan malam, Ego berdoa, sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. "Jika Engkau memang ada, tunjukkan jalan-Mu. Aku lelah berjuang sendirian." Doa itu sederhana, tetapi bagi Ego, itu adalah langkah besar menuju keikhlasan.
Hari-hari berikutnya, Ego mulai merasakan perubahan. Ia tidak lagi merasa perlu untuk menguasai segalanya. Sebaliknya, ia merasa damai dengan perannya sebagai ciptaan. Ia mulai memahami bahwa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar adalah anugerah, bukan kelemahan.
Nuraninya, yang dulu terasa seperti musuh, kini menjadi sahabatnya. Ia belajar mendengarkan suara itu, memahami bahwa nuraninya adalah kompas yang membawanya lebih dekat kepada Yang Maha Kuasa. Ego tidak lagi melihat nurani sebagai penghalang, tetapi sebagai penuntun.
Perlahan tapi pasti, Ego mulai menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada kuasa, tetapi pada penerimaan akan siapa dirinya sebenarnya. Ia adalah ciptaan yang diberi kemampuan untuk berpikir, merasa, dan mengenal Sang Pencipta.
Kini, Ego tidak lagi berusaha menjadi tuhan. Ia menemukan kebebasan dalam menyerah pada kebenaran yang lebih besar dari dirinya. Ia merasa ringan, seolah beban yang selama ini ia pikul telah hilang. Ego tersenyum untuk pertama kalinya, sebuah senyum yang tulus dan penuh keikhlasan.
"Aku adalah Aku," bisiknya, mengingat kembali kata-kata yang pernah ia gunakan untuk membangun dunianya sendiri. Tetapi kali ini, kata-kata itu memiliki makna baru. Ia adalah dirinya, ciptaan yang unik, dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.
Sang Ego akhirnya mengerti bahwa menjadi tuhan bukanlah panggilannya. Panggilannya adalah untuk hidup dalam harmoni dengan kuasa ilahi, mengenal-Nya, dan memuliakan-Nya. Dalam penyerahan itu, Ego menemukan kebebasan yang selama ini ia cari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H