Di sebuah ruang batin yang tak berujung, Sang Ego berdiri, penuh dengan keyakinan bahwa ia mampu melampaui kuasa ilahi. Ia menatap ke dalam dirinya sendiri, menemukan keberanian untuk melawan segala keterbatasan yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. "Mengapa harus ada batas? Jika Aku berpikir, Aku ada. Maka Aku bisa menjadi segalanya," gumamnya penuh kesombongan.
Sang Ego mulai merancang dunianya sendiri, menyusun aturan-aturan yang berpihak pada dirinya. Namun, setiap kali ia melangkah maju, jiwanya berbisik, "Ini bukan jalanmu. Kau tak diciptakan untuk menguasai." Ego merasakan benturan, seolah ia menabrak tembok yang tak terlihat. Ia mencoba mengabaikan bisikan itu, tetapi semakin keras ia melawan, semakin bising suara tersebut.
Hari-hari berlalu, dan Sang Ego merasa semakin jauh dari kedamaian. Nuraninya, yang selama ini ia remehkan, tiba-tiba berbicara dengan suara yang tak bisa ia abaikan. "Ego, mengapa kau ingin menjadi tuhan? Apakah kau lupa bahwa engkau adalah ciptaan, bukan pencipta?" Ego terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang besar, membuatnya limbung.
Ia mencoba mencari pembenaran. "Aku berpikir, maka Aku ada. Jika Aku ada, Aku bisa menciptakan. Bukankah itu cukup untuk menjadi tuhan?" Namun, setiap argumen yang ia bangun runtuh oleh akalnya sendiri. "Jika kau menciptakan, lalu siapa yang menciptakanmu?" Ego kebingungan. Akalnya yang selama ini menjadi senjata andalannya kini berbalik melawannya.
Sang Ego berusaha membungkam nuraninya, tetapi semakin ia menekan, semakin kuat perlawanan itu. Dalam kekalutannya, ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. "Apakah Aku salah? Apakah Aku terlalu sombong untuk mengakui bahwa ada kuasa di atas segalanya?" Pertanyaan itu menghantui malam-malamnya, membuatnya terjaga dengan hati yang penuh keraguan.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa kuasa ilahi hanyalah mitos, sesuatu yang diciptakan untuk melemahkan pikiran manusia. Tetapi, setiap kali ia berusaha menghapus gagasan itu, sebuah dorongan dalam dirinya---seperti sebuah tangan tak terlihat---menariknya kembali ke kenyataan bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya.
"Ego," bisik jiwanya suatu malam, "kau mencoba menjadi tuhan, tetapi kau bahkan tidak bisa mengendalikan dirimu sendiri. Kau marah, kau ragu, kau takut. Apakah itu sifat seorang tuhan?" Kata-kata itu menusuknya. Ego mulai melihat kerapuhannya sendiri, sesuatu yang selama ini ia coba sembunyikan di balik topeng keangkuhan.
Ia merasa terjebak dalam pertarungan tanpa akhir antara keinginan untuk berkuasa dan kenyataan akan ketidakmampuannya. Setiap langkah menuju "keilahian" justru membawanya lebih dekat pada kehancuran. Ia mencoba bertahan, tetapi kejujuran akalnya mulai menggerogoti pertahanannya.
"Aku tidak bisa menciptakan waktu, aku tidak bisa mengendalikan alam, aku bahkan tidak bisa mengerti sepenuhnya siapa diriku," kata Ego akhirnya, mengakui kebenaran yang selama ini ia hindari. Ia merasa kecil, hampir tak berarti. Semua usahanya untuk menjadi tuhan terasa sia-sia di hadapan kenyataan ini.
Namun, di tengah keputusasaannya, sebuah kesadaran perlahan muncul. "Mungkin Aku tidak diciptakan untuk menjadi tuhan. Mungkin Aku diciptakan untuk mengenal dan memahami keilahian, bukan untuk menggantikan-Nya." Pemikiran itu memberikan sedikit kedamaian, seperti embun pagi di padang yang kering.