MenemukanTuhan dalam Fisika: Sebuah Simfoni Semesta
Dalam ruang kosong yang penuh dengan angka-angka, fisika berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh pikiran yang mau menari dengan misteri. Papan tulis dipenuhi persamaan yang tampaknya dingin, namun bagi yang mau melihat lebih dalam, ada kehangatan keajaiban. Di balik setiap rumus, tersembunyi pertanyaan besar yang menggema sejak awal waktu: apakah keteraturan ini hanyalah ilusi, ataukah ada Tangan yang tak terlihat yang memainkannya seperti maestro yang mengarahkan orkestra semesta?
Isaac Newton, dalam heningnya mengamati gravitasi, berkata bahwa dunia adalah mesin besar yang dirancang oleh sang Insinyur Agung. Dengan persamaan yang mengatur gerak planet hingga apel yang jatuh, Newton menunjukkan bahwa alam semesta bukanlah kekacauan, melainkan sebuah jam tangan kosmik yang bekerja dengan presisi sempurna. Tapi siapa yang merancang mesin ini? Newton percaya, itu adalah Tuhan.
Berabad-abad kemudian, Albert Einstein membawa kita lebih dalam. Relativitas umum adalah pintu menuju pemahaman yang lebih besar tentang ruang dan waktu. Einstein, yang terkenal dengan ungkapan "Tuhan tidak bermain dadu," mempercayai keteraturan mendalam dalam alam semesta. Baginya, hukum alam bukan sekadar aturan acak, tetapi simfoni yang harmoni. Ia memandang setiap foton, setiap kelengkungan ruang-waktu, sebagai bagian dari melodi ilahi yang menari di atas panggung kosmik.
Dalam kegelapan dunia kuantum, Niels Bohr dan Werner Heisenberg memperkenalkan kita pada dunia yang aneh, di mana partikel bisa ada dan tidak ada sekaligus. Mekanika kuantum mengungkapkan dunia yang tidak deterministik, sebuah permainan probabilitas yang memaksa kita mempertanyakan kenyataan itu sendiri. Bagi sebagian orang, ketidakpastian ini adalah tanda bahwa semesta tidak memiliki tujuan. Namun, bagi yang lain, ini adalah bukti bahwa Tuhan bersembunyi dalam teka-teki, menantang kita untuk berpikir lebih dalam.
Salah satu teori yang menggetarkan hati adalah teori "fine-tuning." Martin Rees, dalam bukunya Just Six Numbers, menunjukkan bahwa ada enam konstanta fundamental di alam semesta yang jika diubah sedikit saja, kehidupan seperti yang kita kenal tidak akan mungkin ada. Dari konstanta gravitasi hingga rasio kekuatan elektromagnetik, semuanya seolah-olah diatur dengan hati-hati. Apakah ini kebetulan semata, ataukah ini adalah sidik jari Tuhan?
Kita kemudian melangkah lebih jauh ke dalam teori string, sebuah gagasan yang diajukan oleh fisikawan seperti Edward Witten. Dalam teori ini, alam semesta bukanlah kumpulan partikel, melainkan untaian kecil yang bergetar, menciptakan simfoni dimensi. Teori string bahkan berbicara tentang dimensi-dimensi lain yang tak terlihat, tempat di mana harmoni yang lebih tinggi mungkin berada. Apakah ini adalah rumah Tuhan, sebuah wilayah yang hanya bisa kita pahami melalui imajinasi matematika?
Stephen Hawking, meski dikenal sebagai ateis, pernah berkata bahwa memahami asal-usul alam semesta adalah seperti "membaca pikiran Tuhan." Dalam buku The Grand Design, ia berbicara tentang hukum gravitasi yang memungkinkan semesta tercipta dari ketiadaan. Namun, meski ia berusaha menjelaskan semesta tanpa Tuhan, ia tidak bisa menyangkal keindahan keteraturan yang begitu mendalam.
Al-Khwarizmi, sang pemikir besar dari timur, menulis dalam bahasa angka, mengukir setiap simbol dengan hati-hati seperti seorang seniman yang menciptakan karya abadi. Dalam jari-jarinya, rumus-rumus aljabar seolah-olah menjadi benang-benang yang menghubungkan langit dan bumi, menciptakan jembatan antara yang abstrak dan yang konkret. Setiap persamaan yang dia temukan bukan hanya angka semata, tetapi pintu menuju keteraturan yang lebih tinggi, yang tak lain adalah jejak-jejak Tuhan dalam ciptaan-Nya.
 Ibn al-Haytham, sang ahli optika, melihat cahaya bukan hanya sebagai fenomena fisik, tetapi sebagai pembawa pesan dari suatu alam yang lebih tinggi. Dalam kegelapan, ia menemukan cahaya yang mengarahkan langkah, sebuah metafora dari Tuhan yang tak tampak, namun selalu hadir, menerangi setiap sudut pikiran dan hati. Matematika yang ia gunakan untuk menjelaskan cahaya adalah kata-kata Tuhan yang tak terucapkan, tetapi dapat dipahami oleh mereka yang memiliki mata hati yang tajam.
Seperti para astronom yang memandang langit, Nasir al-Din al-Tusi menatap langit dengan matematika sebagai lensa pembesar. Ia melihat dalam gerak planet, dalam tarian bintang-bintang yang seolah tidak terhingga, irama yang lebih besar dari apa yang tampak. Sebuah irama yang lebih mirip sebuah simfoni, seakan suara Tuhan yang berbicara dalam frekuensi yang hanya dapat dipahami oleh jiwa yang terbuka. Bagi al-Tusi, setiap orbit planet adalah lingkaran abadi, yang menunjukkan bahwa keteraturan semesta bukanlah kebetulan, melainkan rancangan yang sempurna dari Sang Pencipta.
Dalam kehampaan ruang angkasa yang tampaknya kosong, fisikawan menemukan energi vakum, sesuatu yang membuktikan bahwa tidak ada tempat benar-benar kosong. Bahkan dalam kekosongan, ada denyut kehidupan. Ini mengingatkan kita pada ajaran agama bahwa Tuhan ada di mana-mana, bahkan di tempat yang tampaknya tak memiliki substansi.
Dari teori Big Bang, kita diajak kembali ke awal waktu, saat alam semesta melahirkan dirinya sendiri dalam ledakan besar. Georges Lematre, seorang fisikawan dan imam Katolik, adalah orang pertama yang mengusulkan gagasan ini. Baginya, Big Bang adalah "Let There Be Light" versi ilmiah, momen ketika Tuhan menciptakan segala sesuatu dari kehampaan.
Namun, fisika juga membawa kita pada paradoks besar. Jika waktu memiliki awal, maka apa yang ada sebelum waktu itu ada? Jika alam semesta mengembang, apa yang ada di luar batasnya? Stephen Hawking pernah berkata bahwa bertanya apa yang ada sebelum Big Bang adalah seperti bertanya apa yang ada di utara Kutub Utara. Namun, bagi banyak orang, pertanyaan ini mengarah pada keberadaan sesuatu yang tak berbatas---sesuatu yang hanya bisa kita sebut sebagai Tuhan.
Dalam matematisasi keindahan semesta, Paul Dirac menemukan simetri mendalam yang menghubungkan partikel dan antipartikel. Simetri ini, baginya, adalah tanda bahwa alam semesta memiliki estetika yang tidak bisa dijelaskan oleh kebetulan. Tuhan, bagi Dirac, adalah keindahan itu sendiri.
Ketika kita melihat ke dalam struktur atom, kita menemukan bahwa lebih dari 99% dari atom adalah kehampaan. Namun dari kehampaan inilah segala sesuatu ada. Fisikawan modern seperti Carlo Rovelli berbicara tentang teori loop quantum gravity, di mana ruang itu sendiri adalah jaringan yang tak terlihat namun saling terhubung. Apakah ini adalah kain tempat Tuhan menjahit semesta?
Matematikawan Kurt Gdel, dalam buktinya yang terkenal tentang ketaklengkapan, menunjukkan bahwa ada kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dalam sistem mana pun. Ini adalah pengingat bahwa meskipun fisika dapat menjelaskan banyak hal, ada sesuatu yang selalu berada di luar jangkauan kita. Mungkin, ini adalah tempat Tuhan bersembunyi.
Dalam termodinamika, hukum kedua menyatakan bahwa entropi selalu meningkat. Namun, mengapa ada hukum ini? Mengapa semesta bergerak dari keteraturan menuju kekacauan, seperti melodi yang berakhir dalam keheningan? Dalam proses ini, kita melihat tanda-tanda Tuhan yang tidak hanya menciptakan tetapi juga mengatur akhir.
 Bahkan dalam teori relativitas, waktu dan ruang tidaklah absolut. Mereka adalah ilusi yang muncul dari gravitasi dan kecepatan. Apakah ini adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa realitas kita hanyalah bayangan dari realitas yang lebih besar?
Alam semesta ini sangat besar, sangat luas, hingga terasa mustahil kita hanyalah kebetulan kecil. Namun, dari rasa kecil itulah muncul rasa kagum yang luar biasa. Dalam ketidakberdayaan, kita menemukan kekuatan. Dalam keterbatasan, kita menemukan kemungkinan tak terbatas.
Ketika matematikawan dan fisikawan seperti Roger Penrose berbicara tentang keindahan matematika dalam hukum alam, mereka sebenarnya berbicara tentang sebuah bahasa yang melampaui manusia. Matematika adalah cara Tuhan berbicara, dan kita hanyalah murid yang mencoba membaca tulisan-Nya.
Tuhan dalam fisika bukanlah sosok yang berbicara melalui kata-kata, tetapi melalui harmoni. Dia adalah keteraturan dalam kekacauan, keindahan dalam simetri, dan misteri dalam yang tidak diketahui.
Pada akhirnya, menemukan Tuhan dalam fisika bukanlah tentang membuktikan keberadaan-Nya, tetapi tentang merasakan kehadiran-Nya dalam setiap rumus, dalam setiap eksperimen, dan dalam setiap percikan pemahaman.
Pada akhirnya, perjalanan kita dalam fisika dan matematika adalah perjalanan spiritual, sebuah pencarian yang tak pernah berakhir. Seperti sebuah pelukan tak tampak, Tuhan ada dalam setiap persamaan, dalam setiap teori, dan dalam setiap misteri yang menunggu untuk diungkapkan. Fisika mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan mata yang lebih tajam, untuk menyelami kedalaman dan mencari Tuhan di balik setiap angka yang kita temui. Sebab, Tuhan tidak hanya ada di luar sana, tetapi juga dalam setiap jejak yang kita temukan di sepanjang jalan pengetahuan.
Fisika mengajarkan kita untuk rendah hati. Semakin jauh kita menjelajah, semakin kita menyadari betapa sedikit yang kita ketahui. Dan mungkin, dalam kebodohan itulah, kita paling dekat dengan Tuhan, karena hanya dalam kekaguman kita bisa memahami jejak-Nya. Tuhan adalah simfoni semesta, dan fisika adalah jalan untuk mendengarkan melodi-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H