Langkahku lirih, menyentuh senyap di tepian jalan,
Di matamu, aku hanyalah bayang tanpa tujuan.
Aku datang sekejap, membawa angin yang hilang,
Meninggalkan jejak rindu yang tak pernah kau inginkan.
Maaf, aku cuma numpang lewat di hatimu yang tenang.
Kau berdiri kokoh, seolah tiada yang mampu menggoyah,
Sementara aku gentar, bagai daun terhempas pasrah.
Kupikir, mungkin aku bisa jadi selimut saat kau beku,
Namun hadirmu justru adalah tembok yang membisu.
Maaf, aku hanya mengintip pintu yang takkan terbuka.
Saat malam menghamparkan sunyi di atas kota,
Aku berjalan sendirian, membawa cerita yang luka.
Cahaya di jendela itu memanggil, namun tak bisa kumasuki,
Karena aku hanyalah bayang yang kau lupakan lagi.
Maaf, aku hanya debu di langkahmu yang berlari.
Aku tahu, cinta tak bisa dipaksa tumbuh di tanah gersang,
Namun aku tetap berharap, meski tahu ini usang.
Aku datang membawa bunga, kau anggap hanya duri,
Ternyata rasa ini terlalu tajam untuk kau hampiri.
Maaf, aku cuma numpang lewat di mimpi-mimpimu.
Jika waktu adalah sungai, kau arus yang deras dan bebas,
Aku hanyalah riak kecil, tertinggal di pinggir deras.
Aku ingin menyatu, menjadi bagian dari perjalananmu,
Namun aku tahu, aku hanyalah sesuatu yang semu.
Maaf, aku hanya pelangi yang kau lupakan setelah badai.
Aku bertanya pada malam, adakah aku salah melangkah?
Namun jawabannya hanya angin yang berlalu di bawah.
Aku ingin tetap tinggal, meski tak kau hiraukan,
Namun hatimu adalah dermaga yang penuh dengan larangan.
Maaf, aku cuma kapal yang terdampar di pesisir hatimu.
Aku menulis namamu di langit, berharap kau melihat,
Namun awan datang, menutup harapanku yang pekat.
Aku mencoba menjadi terang di gelapnya duniamu,
Tapi kau memilih cahaya lain, lebih kuat dari cahayaku.
Maaf, aku hanya lilin kecil yang kau tiup padam.
Di setiap sudut kota, aku mencari bayangmu,
Namun langkahku berat, karena aku tahu diriku semu.
Aku menunggu di persimpangan yang takkan kau datangi,
Hanya berharap sisa-sisa rindu ini tak terlalu menyakiti.
Maaf, aku hanya pejalan yang tersesat di jalanmu.
Kau adalah matahari, aku hanyalah embun pagi,
Kehangatanmu memudariku, hingga aku pergi.
Aku tak pernah benar-benar memiliki keberanian,
Karena aku tahu, aku hanya bagian dari kesepian.
Maaf, aku cuma bayangan yang sirna oleh sinarmu.
Jika suatu hari kau menoleh dan mencariku lagi,
Ketahuilah aku pernah ada, meski kini pergi.
Aku tak pernah ingin menjadi duri di jalanmu,
Hanya ingin menjadi cerita yang kau kenang dulu.
Maaf, aku cuma numpang lewat di kisah hidupmu.
Angin membawa kabar tentangmu yang kini bahagia,
Aku tersenyum, meski hati ini terasa seperti luka.
Aku tahu, kau tak pernah melihatku sebagaimana aku,
Namun aku tetap menyimpan hangatnya senyummu.
Maaf, aku cuma numpang lewat di ingatanmu yang fana.
Aku adalah musim gugur, dan kau musim semi,
Aku tak pernah bisa menjadi bagian dari harmoni.
Aku mencoba tetap ada, meski aku tahu tak berarti,
Namun hatimu sudah lama tak peduli lagi.
Maaf, aku cuma daun kering yang gugur di bawah kakimu.
Mungkin esok aku akan pergi tanpa jejak lagi,
Namun aku akan membawa cerita ini hingga mati.
Aku tak menyesal pernah mencintaimu yang sunyi,
Meski kau tak pernah ingin aku hadir di sisi.
Maaf, aku cuma bintang jatuh yang kau abaikan.
Kata-kata ini adalah perpisahan terakhir yang kuucap,
Karena aku tahu, hatimu bukanlah tempatku menetap.
Aku melangkah pergi, meninggalkan bayangan semu,
Mencari tempat di mana aku bisa merasa utuh.
Maaf, aku cuma numpang lewat di samudera waktumu.
Jika rindu ini bisa berubah menjadi doa yang suci,
Maka aku akan memohon agar kau selalu damai di hati.
Aku tak lagi berharap menjadi bagian dari hidupmu,
Hanya ingin kau bahagia, meski tanpaku di sisimu.
Maaf, aku cuma numpang lewat di altar harapan ini.
Aku telah belajar, bahwa mencintai tak harus memiliki,
Bahwa bahagia kadang berarti harus pergi.
Aku melihat dirimu menjadi purnama yang indah,
Meski aku adalah malam tanpa bintang yang resah.
Maaf, aku cuma penonton dalam panggung ceritamu.
Aku berhenti bertanya apakah aku pernah berarti,
Karena jawaban itu tak lagi penting kini.
Aku belajar melangkah tanpa bayangmu di belakang,
Meski perih ini akan bertahan cukup panjang.
Maaf, aku cuma angin yang berbisik lalu menghilang.
Kini aku berjalan ke arah lain, jauh dari jalurmu,
Mencari cahaya baru di langit yang tak sama denganmu.
Aku tak lagi menoleh, karena hatiku telah paham,
Bahwa aku tak pernah benar-benar kau genggam.
Maaf, aku cuma cerita yang tak selesai di hidupmu.
Namun jika takdir membawa kita bertemu lagi nanti,
Aku akan tetap tersenyum, meski hati ini tak berisi.
Aku tak ingin menjadi luka yang kembali menghantui,
Hanya ingin menjadi kenangan yang kau simpan dalam damai hati.
Maaf, aku cuma numpang lewat, mencintai tanpa pamrih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H