Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pers : Mata, Telinga dan Mulut Zaman

19 Desember 2024   15:11 Diperbarui: 19 Desember 2024   15:28 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi fungsi pers (dibuat memakai DALL-E Open AI)

Pers: Mata, Telinga, dan Mulut Zaman

Pers adalah terang yang membelah kegelapan. Tanpa kehadirannya, dunia menjadi ruang hampa di mana kejahatan bebas bersembunyi. Sebuah pembunuhan di lorong sepi akan tetap menjadi rahasia. Ketidakadilan di sudut-sudut desa akan terkubur tanpa saksi. Dalam hening, kebenaran terkunci rapat, dan dunia menjadi tak lebih dari panggung bisu. Mata pers yang tajam memotret semua itu. Ia menyoroti noda di balik kain putih, menembus tabir kebohongan yang terbungkus rapi.

Bayangkan sebuah negeri tanpa pers: kejahatan akan merajalela tanpa rasa takut. Para tiran akan terus menyiksa, sementara suara-suara korban lenyap di angin. Di hutan-hutan jauh, pohon-pohon tumbang, satwa liar punah, namun dunia tidak tahu. Penderitaan menjadi sebuah sunyi yang terlarang untuk dipecahkan. Mata pers adalah pengintip yang tidak pernah tertidur; ia adalah penjaga yang memastikan bahwa setiap pelanggaran tercatat dan diceritakan.

Pers juga adalah telinga. Ia mendengar bisikan paling lirih dari jiwa-jiwa yang tersiksa. Suara sumbang dari para penipu akan terdengar, dan kebenaran pun mendapat ruang untuk berbicara. Di malam yang tenang, jeritan orang-orang lemah memecah sunyi, dan telinga pers menangkapnya dengan penuh empati. Lewat telinga itu, dunia dipaksa mendengar. Karena tanpa mendengar, tidak ada rasa. Tanpa rasa, tidak ada tindakan.

Dalam dunia yang riuh ini, telinga pers adalah filter. Ia memilah mana yang pantas didengar dan mana yang perlu diabaikan. Ketika kebisingan berita palsu memenuhi udara, pers memurnikannya. Ia mendengarkan dengan jujur dan menyaring kebohongan hingga yang tersisa hanyalah inti kebenaran. Dengan begitu, dunia terus disadarkan bahwa setiap jeritan, bahkan yang paling kecil sekalipun, layak mendapat perhatian.

Namun, pers bukan hanya mata dan telinga. Ia adalah mulut zaman. Ia mengartikulasikan rasa, mengeluarkan suara untuk mereka yang bisu oleh keadaan. Seorang anak yang menangis karena lapar akan diceritakan oleh pers. Seorang petani yang tanahnya dirampas akan diberi panggung untuk bersuara. Ketika semua orang memilih diam, pers berbicara lantang. Ia adalah orator yang tidak takut pada ancaman atau kekuasaan.

Ketika pers berbicara, ia tidak hanya menyampaikan berita. Ia membangun narasi, menyusun cerita yang mampu menggugah hati. Ia tidak berbicara hanya untuk mengisi ruang, tetapi untuk membakar semangat, menggerakkan perubahan. Mulut pers adalah kekuatan yang tak bisa diremehkan. Ia adalah lidah tajam yang bisa melawan ketidakadilan dan membangun kembali harapan yang telah hancur.

Bayangkan dunia tanpa pers. Mata akan menjadi buta, tidak melihat penderitaan atau kebahagiaan. Telinga akan tuli, tidak mendengar tangisan atau tawa. Mulut akan bisu, tidak bisa berbicara tentang kebenaran atau keindahan. Dunia akan menjadi tempat yang sepi dan mati. Kejahatan akan merajalela tanpa pelapor, dan penderitaan akan menjadi rahasia tanpa saksi.

Pers adalah napas kehidupan sebuah masyarakat. Ia adalah denyut nadi yang memastikan dunia tetap hidup. Tanpanya, dunia hanya akan menjadi tubuh tanpa jiwa. Ketika mata tertutup, telinga tersumbat, dan mulut terkunci, maka kita bukan lagi manusia. Kita hanyalah boneka yang bergerak tanpa arah, tidak tahu apa yang benar atau salah.

Dalam sejarah, pers selalu menjadi penjaga zaman. Dari revolusi besar hingga perjuangan kecil di pelosok, pers mencatat semuanya. Ia adalah arsip hidup yang menyimpan kisah-kisah perlawanan, kemenangan, dan kekalahan. Ia tidak pernah melupakan, karena lupa adalah pengkhianatan terbesar terhadap masa depan.

Ketika seorang jurnalis menuliskan sebuah berita, ia bukan hanya bekerja untuk hari itu. Ia bekerja untuk sejarah. Tulisannya akan menjadi dokumen yang akan dibaca oleh generasi mendatang. Dalam tinta yang ia goreskan, terkandung harapan bahwa dunia akan belajar dari kesalahan, dan manusia akan menjadi lebih baik.

Namun, pers tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Banyak yang membencinya, menuduhnya sebagai pembawa masalah. Para penjahat membencinya karena ia membuka kedok mereka. Para pemimpin yang korup membencinya karena ia mengawasi mereka. Tetapi di balik kebencian itu, pers tetap berdiri tegak.

Menjadi pers berarti menjadi suara bagi yang tidak bersuara. Ia adalah penghubung antara yang lemah dan yang berkuasa, antara yang tertindas dan yang memerintah. Dalam setiap artikelnya, terkandung tanggung jawab besar. Karena pers tidak hanya menulis; ia membangun, menginspirasi, dan memperjuangkan.

Di era digital ini, pers menghadapi tantangan baru. Kebohongan menyebar lebih cepat daripada kebenaran, dan kebencian lebih mudah dijual daripada kasih. Tetapi pers tidak menyerah. Ia terus berjuang, melawan arus demi menjaga integritasnya.

Pers adalah penjaga moral masyarakat. Ia adalah pengingat bahwa kita harus selalu mencari kebenaran dan memperjuangkan keadilan. Tanpa pers, dunia akan kehilangan arah. Ia akan menjadi kapal tanpa kompas, tersesat di lautan yang penuh dengan badai kebohongan.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendukung pers. Karena ketika pers kuat, masyarakat juga kuat. Ketika pers bebas, masyarakat juga bebas. Kebebasan pers adalah cerminan dari kebebasan manusia.

Mari kita bayangkan sebuah dunia di mana pers dihormati dan dilindungi. Dunia di mana setiap suara, tidak peduli seberapa kecil, didengar. Dunia di mana kebenaran memiliki tempat, dan keadilan menjadi tujuan bersama.

Pers adalah mata dunia. Ia melihat apa yang tidak terlihat, mencatat apa yang ingin dilupakan. Ia adalah telinga dunia, mendengar suara-suara yang terabaikan. Dan ia adalah mulut dunia, berbicara untuk mereka yang bisu oleh ketakutan.

Tanpa pers, dunia akan menjadi tempat yang gelap dan sunyi. Tetapi selama pers ada, harapan selalu hidup. Karena pers adalah suara zaman, cermin masyarakat, dan penjaga kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun