Dia datang bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyelamatkan. Ia datang untuk menghapus dosa-dosa kita dan memberikan kita kesempatan baru. Namun, kita lebih suka hidup dalam kesendirian, menyembunyikan diri dari kasih-Nya karena merasa tidak layak. Padahal, Dia tahu kita rapuh, Dia tahu kita berdosa, dan justru karena itu Dia datang.
Kasih-Nya tidak terbatas, namun kita sering kali membatasinya dengan kebanggaan kita. Kita merasa kita tidak membutuhkan-Nya, bahwa kita cukup dengan usaha kita sendiri. Tetapi apakah usaha kita sudah benar-benar memberi kita kedamaian sejati? Apakah kita sudah cukup bahagia dengan segala pencapaian kita?
Pada malam Natal, Dia datang dengan sederhana, lahir di dalam ketidakberdayaan seorang bayi. Di tengah keheningan itu, Dia menunjukkan kepada kita bahwa kekuatan-Nya bukanlah kekuatan duniawi. Tidak ada kemegahan, tidak ada keangkuhan, hanya kesederhanaan yang mendalam. Namun, sering kali kita menolak kedatangan-Nya karena kita terlalu sibuk mengejar hal-hal yang sementara.
Dia datang untuk mengubah dunia, namun kita menutup mata terhadap perubahan yang ingin Dia bawa. Kita lebih suka bertahan dalam kebiasaan lama, meskipun itu membawa kita jauh dari kedamaian. Natal seharusnya menjadi momen untuk membuka hati, untuk meresapi kasih yang datang membawa pembaruan. Namun, kita sering kali terjebak dalam kebiasaan yang tidak membawa perubahan positif.
Dalam ketenangan malam Natal, Dia berbisik lembut kepada kita untuk kembali kepada-Nya. Namun, kita sering kali terlarut dalam keramaian, mencari kebahagiaan dalam hal-hal yang sementara. Padahal, Dia sudah memberi segalanya untuk kita, tanpa meminta imbalan apapun. Dia hanya ingin kita kembali ke jalan yang benar, jalan yang penuh kasih dan damai.
Pesta pora dunia mengalihkan perhatian kita dari kasih yang sejati. Kita terlalu sibuk merayakan kemewahan dunia, padahal Natal adalah tentang merayakan kasih-Nya yang tak terhingga. Namun, sering kali kita tidak dapat memahaminya, karena hati kita terlalu keras dan terikat oleh dunia ini.
Dia datang untuk menyembuhkan, tetapi kita menolak untuk disembuhkan. Kita lebih memilih tetap dalam penderitaan yang kita ciptakan sendiri, menolak untuk melepaskan beban yang kita pikul. Natal seharusnya menjadi saat penyembuhan, tetapi kita menutup diri, merasa cukup dengan apa yang kita miliki, meskipun itu tidak memberi kedamaian.
Kasih-Nya mengalir tanpa henti, meskipun kita sering kali menolaknya. Dalam setiap detik hidup kita, Dia menunggu dengan sabar. Namun, berapa banyak dari kita yang sungguh-sungguh menerima-Nya? Kita sering kali lebih memilih jalan yang mudah, jalan yang nyaman, meskipun itu membawa kita jauh dari-Nya.
Natal, Kasih yang Tersedia Setiap Saat
Dalam damai Natal, Dia tidak pernah jemu menunggu kita untuk kembali ke jalan-Nya. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk kembali, untuk membuka hati dan menerima kasih-Nya. Natal adalah momen untuk memulai kembali, untuk menerima pengampunan, dan untuk hidup dalam damai-Nya yang abadi. Namun, apakah kita akan menolaknya, ataukah kita akan menerima kasih-Nya dengan hati yang terbuka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H