Kudengar ada tangis di tawamu,
suara yang menyelinap di antara riuh,
seperti badai dalam bisikan lembut,
menyembunyikan luka yang tergores dalam,
di balik senyum yang memanah hati.
Kudengar ada tangis di tawamu,
tawa yang tak seutuhnya bahagia,
melingkar di dinding kesendirian,
menutup rapat pintu kepedihan,
agar dunia tak melihat rapuhnya.
Di matamu ada kilau yang pudar,
membawa pesan yang sulit terbaca,
seperti rahasia yang ingin kau simpan,
namun tak sanggup lagi kau pendam,
hingga meluruh bersama sunyi.
Setiap tawa yang kau lepaskan,
terdengar seperti nyanyian duka,
berbalut asa yang mulai retak,
seolah kau bicara tanpa kata,
tentang perih yang kau genggam erat.
Kudengar ada tangis di tawamu,
ia bukan tangis yang meraung,
hanya dentingan halus yang lirih,
berdenting seperti kaca retak,
namun mampu memecahkan hati.
Langit biru tak mampu menenangkan,
awan putih tak bisa menghapus resah,
kau tertawa seperti mentari terbenam,
indah namun menyimpan gelap,
di batas waktu yang tak abadi.
Kudengar ada tangis di tawamu,
seperti jerit jiwa yang terbungkam,
menggema di antara ruang kosong,
mengisi setiap celah keheningan,
dengan rindu yang tak pernah selesai.
Tawamu adalah selimut bagi luka,
yang tak ingin kau biarkan terlihat,
meski angin tahu ada kepedihan,
yang mengalir dari setiap bisikan,
seperti hujan yang turun diam-diam.
Kudengar ada tangis di tawamu,
ia berbicara lebih dari seribu kata,
menceritakan luka tanpa jeda,
menyentuh hati yang tak berdaya,
membuat waktu berhenti sejenak.
Bayanganmu menyatu dengan senja,
membawa warna yang samar dan pudar,
seperti cinta yang pernah hidup,
kini hanya menjadi kenangan,
yang bernafas di sela tawamu.