Seribu Sebiji.
Kue, Kue,Di tengah hiruk-pikuk jalanan yang berdebu, seorang gadis kecil melangkah dengan ringan dan ceria. Pagi itu, sinar matahari masih malu-malu menyentuh aspal, tetapi keramaian sudah berpacu. Motor berlalu-lalang, klakson bersahutan, dan pedagang kaki lima sibuk merapikan lapaknya. Di antara riuh rendah kota yang tak pernah benar-benar tidur, ia berjalan dengan langkah tegap. Di atas kepalanya, sebuah keranjang berisi kue warna-warni bertengger dengan sempurna.
Tubuh mungilnya dibalut gaun kuning sederhana. Sebuah hijab berwarna senada membingkai wajahnya yang bulat, membuatnya tampak seperti matahari kecil yang bersinar di tengah keramaian. Tidak ada raut lelah, tidak ada keluhan. Hanya senyum kecil yang merekah, seakan dunia ini adalah taman bermain yang penuh kejutan.
"Kue, kue, seribu sebiji!" serunya dengan suara lantang, meski kecil. Suara itu menyelinap di antara deru mesin dan obrolan para pengendara.
Kue-kue itu terlihat cantik, berwarna merah muda, hijau muda, biru, dan kuning seperti pelangi. Barisan kue yang ia bawa bukan sekadar penganan manis, tetapi harapan-harapan kecil yang dibungkus dalam tepung dan gula. Mungkin ibunya bangun sejak dini hari, meramu adonan di dapur kecilnya, menuangkan cinta dan doa ke dalam loyang-loyang yang siap dipanggang.
Di pinggir jalan, beberapa orang melirik, beberapa tersenyum kecil, dan yang lain sekadar melewatinya begitu saja. Namun, baginya, setiap langkah adalah perjuangan. Setiap keranjang kue yang ia bawa adalah amanah. Mungkin di rumah, ada adik kecil yang masih tertidur, atau mungkin ayahnya sedang berjuang di tempat lain,; berkeringat di bawah terik matahari.
Tidak ada yang tahu pasti. Namun, dari caranya berjalan, dari kepalanya yang kokoh menahan beban, jelas anak ini sudah diajari tentang kehidupan. Tentang bagaimana menggenggam tanggung jawab meski kedua tangannya kecil. Tentang bagaimana tersenyum bahkan saat kaki letih melangkah.
Langit semakin terang, tapi udara jalanan justru semakin sesak. Bau bensin bercampur dengan aroma kue-kue yang menggoda. Anak itu terus berjalan, sesekali berhenti di depan warung kopi atau bengkel kecil, menawarkan kue dengan sopan. Senyumnya adalah senjata paling ampuh yang ia punya. Sebagian orang tak sanggup menolak, menyerahkan beberapa lembar uang, lalu pergi sambil membawa satu-dua kue di tangan.
"Kue, kue, seribu sebiji!" serunya lagi, kali ini lebih nyaring, menembus kesibukan pagi yang makin padat.
Ia tahu betul, satu kue yang laku berarti satu langkah lebih dekat untuk membawa pulang sedikit kebahagiaan. Satu kue yang laku adalah bukti bahwa kerja keras tidak sia-sia. Baginya, kue-kue itu bukan sekadar dagangan. Mereka adalah mimpi kecil yang diolah dari kesabaran dan tekad.
Seorang ibu berhenti sejenak. Ia membuka dompetnya, lalu membeli lima kue. "Untuk anak saya di rumah," katanya sambil tersenyum. Anak itu mengangguk sopan, "Terima kasih, Bu!" suaranya ringan, tetapi matanya berbinar-binar. Ada kepuasan yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang tahu nilai sebuah perjuangan.