Penat merayap di sudut jiwa,
seperti bayang-bayang malam yang enggan sirna.
Kata-kata kususun, tak kunjung sempurna,
seolah tinta kehilangan maknanya.
Langit menggulung warna senja,
mengajakku bertanya tentang lelah yang ada.
Apakah ini luka atau sekadar jeda?
Ataukah rindu yang tak bernama?
Namun, di tengah pekatnya rasa,
ada desir angin menyapa mesra.
Membisikkan janji pada sang pena,
bahwa karya tak pernah sia-sia.
Maka kutemukan terang dalam letih,
puisi ini adalah nafas yang lirih.
Merangkai kata di batas sunyi,
menjadi pelipur bagi hati yang sunyi.
Dalam diam, aku bercakap pada waktu,
bertanya tentang mimpi yang perlahan layu.
Haruskah kulanjutkan langkahku?
Atau berhenti, memberi ruang pada diriku?
Lembar-lembar malam terurai perlahan,
bersama sisa tenaga yang kugenggam.
Menapak jalan yang penuh beban,
hanya berbekal harapan yang kusimpan.
Penat ini adalah guru yang setia,
mengajarkan arti sabar tanpa cela.
Bahwa setiap tetes keringat yang ada,
adalah batu pijakan menuju bahagia.
Kutatap gelap yang tak lagi pekat,
ada cahaya kecil yang perlahan mendekat.
Mengingatkanku bahwa perjalanan berat,
adalah seni hidup yang penuh hikmat.
Angin malam menyelimuti tubuh yang lemah,
namun tak memadamkan api semangat yang merekah.
Sebab di balik setiap kelelahan yang menyerah,
tersimpan kekuatan yang tak pernah punah.
Penat hanyalah bayangan sementara,
yang menguji seberapa besar tekad manusia.
Dan aku, meski letih dan penuh tanya,
akan terus berjalan, melampaui ragu yang ada.