Aku adalah sungai yang dulu membawa kehidupan, mengalir jernih dari pegunungan hingga ke lautan, menjadi sumber air bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Namun kini, tubuhku penuh luka akibat ulah kalian yang membuang limbah dan sampah sembarangan, mencemari setiap tetes airku. Plastik-plastik yang menyumbat aliranku, limbah beracun yang meracuni dasarku, dan pasir yang terus kalian tambang tanpa ampun membuatku kehilangan kekuatan untuk memberi kehidupan. Ikan-ikan yang dulu berenang lincah kini mati, tumbuhan di tepianku layu, dan banjir datang sebagai tangisanku yang meluap karena tak sanggup lagi menahan beban ini. Aku ingin kembali menjadi sumber kehidupan, tetapi aku tak bisa melakukannya sendiri; aku butuh kalian untuk berhenti merusak dan mulai merawat, sebelum aku mati dan kalian kehilangan segalanya.
Awan menggulung di langit kelabu, murka pada ulah manusia. “Aku dulu adalah pembawa harapan,” katanya sambil menggelegar. “Hujan yang kuturunkan menghidupi ladangmu, mengisi sungai-sungai, menyegarkan udara. Namun kini, kalian penuhi udara dengan polusi, membuatku mengandung racun. Hujan yang turun dariku tak lagi menyejukkan, melainkan mencemari. Petirku bukan hanya peringatan, tetapi tangisan pilu yang tersisa.”
Di dalam hutan yang tersisa, pohon tua berderak sedih. “Akar-akarku dulu menguatkan bumi,” katanya pelan, seperti berbisik di antara ranting-rantingnya yang layu. “Daunku memurnikan udara, memberikan oksigen untuk setiap makhluk bernapas. Namun apa balasan kalian? Kalian tebang tubuhku tanpa ampun, membakar hutan tempatku tinggal, dan mengubahnya menjadi lahan kosong. Aku menangis dalam diam saat melihat burung-burung kehilangan sarangnya dan tanah kehilangan kesuburannya.”
Di dasar laut yang semakin keruh, ikan berteriak dengan getir. “Dulu, laut adalah rumahku yang damai. Airnya jernih, dipenuhi kehidupan yang beragam. Tapi kini, kalian mencemarinya dengan limbah plastik, minyak, dan bahan kimia. Teman-temanku mati lemas karena tak bisa bernapas di air yang tercemar. Jaring-jaring besar kalian merenggut kami tanpa ampun, memisahkan kami dari keluarga dan tempat kami bertahan hidup.”
Di taman yang dulu indah, bunga mengeluh dengan nada pilu. “Warnaku cerah, harumnya semerbak, semua demi mempercantik duniamu. Namun kini, aku semakin jarang mekar. Tanah tempatku tumbuh penuh dengan racun, air yang menyirami penuh polutan, dan matahari yang dulu hangat kini menjadi terik yang membakar. Akankah keindahanku hanya tinggal kenangan?”
Kupu-kupu beterbangan dengan lesu di atas ladang yang gundul. “Aku membawa pesan kehidupan, dari bunga ke bunga, menyuburkan alam dengan caraku. Namun sekarang, tak ada lagi bunga yang tersisa untuk kuhampiri. Racun pestisida membunuh saudara-saudaraku, dan ladang yang hijau berubah menjadi beton keras. Kekecewaanku tak bisa terbang tinggi lagi, karena dunia kalian tak lagi ramah bagi sayap-sayap kecilku.”
Gunung berdiri kokoh, tetapi getarannya menyimpan murka. “Dulu aku adalah pelindungmu, penyimpan kekayaan alam yang tak ternilai. Tapi kalian mencabik-cabik tubuhku demi emas, batu bara, dan bahan tambang lainnya. Aku gemetar, bukan karena kekuatan, tetapi karena derita yang semakin dalam. Bila aku meletus, itu bukan karena aku ingin, melainkan karena kalian memaksaku.”
Sungai yang mengalir kini terdengar merintih. “Airku adalah sumber kehidupan, mengalir dari gunung ke lautan, membawa kesegaran. Tapi sekarang, aku menjadi selokan kotor, penuh sampah dan limbah. Ikan-ikan yang dulu berenang bebas kini mati mengambang, dan bibir sungai yang dulu hijau kini gersang. Aku ingin kembali bersih, tapi ulah kalian terus mencemarku.”
Tanah menggerutu dari bawah pijakan manusia. “Aku yang memberi kalian makanan, tempat tinggal, dan kehidupan. Namun apa balasannya? Kalian meracuni tubuhku dengan pupuk kimia, mencemari kedalamanku dengan limbah, dan menggunduli lapisanku. Aku semakin tandus, tak lagi bisa memberi seperti dulu. Kalian memaksaku menjadi lahan mati.”
Tetes-tetes hujan turun dengan kesedihan yang mendalam. “Aku datang membawa berkah, menyirami ladang dan memenuhi sungai. Namun kini, kehadiranku sering ditakuti, karena banjir mengiringiku. Bukannya aku yang berubah, tetapi kalian yang merusak keseimbangan. Airku tak bisa meresap karena tanah telah kehilangan kemampuannya.”
Angin bertiup pelan, menyampaikan keluhannya. “Dulu, aku adalah pembawa kesejukan, meniupkan harapan di siang yang terik. Tapi sekarang, aku membawa debu dan polusi. Udara yang kuhembuskan tak lagi segar, karena manusia mencemarinya dengan asap dan gas. Aku ingin membawa kehidupan, bukan penyakit.”
Burung bernyanyi dengan nada muram. “Langit adalah tempatku terbang bebas, dan pohon adalah rumahku. Tapi kini, kalian merampas semuanya. Hutan-hutan hilang, udara tercemar, dan makanan semakin sulit dicari. Lagu yang dulu ceria kini berubah menjadi ratapan.”
Batu di sungai berbicara dengan suara yang berat. “Aku adalah saksi bisu waktu, mengalir bersama sungai yang jernih. Tapi sekarang, sungai tempatku tinggal penuh sampah dan lumpur. Tubuhku yang kokoh tak lagi berarti ketika kalian terus menghancurkan alam di sekitarku.”
Langit berbicara dari atas dengan suara yang datar. “Aku dulu biru cerah, penuh awan putih yang indah. Namun sekarang, aku dipenuhi asap hitam dan polusi. Matahari yang menyinari bumi tak lagi bisa kulihat jelas. Aku menjadi suram karena ulah manusia.”
Hutan yang lebat kini terdiam. “Dulu aku adalah tempat kehidupan, rumah bagi ribuan makhluk. Tapi sekarang, aku menjadi sunyi. Pohon-pohon ditebang, hewan-hewan diburu, dan tanahku terbakar. Kesunyian ini adalah kesedihan yang dalam.”
Danau yang tenang mulai berbisik. “Airku adalah cermin langit, tempat kehidupan air berkembang. Tapi kini, aku menyusut, mengering perlahan. Racun dan sampah membuatku tak lagi layak dihuni. Bahkan, refleksi langit pun tak lagi indah di permukaanku.”
Pelangi yang dulu ceria mengeluh lirih. “Warnaku adalah simbol keindahan alam, hadiah setelah hujan. Namun kini, aku jarang muncul, karena udara penuh polusi. Kecantikan alam yang kucerminkan tak lagi utuh. Aku takut akan tiba saat di mana aku hanya menjadi cerita.”
Semut yang kecil berseru dengan nada pasrah. “Kami adalah pekerja alam yang setia, menjaga keseimbangan tanah dan ekosistem. Tapi kalian meracuni kami dengan pestisida, menghancurkan sarang kami dengan alat berat. Kami hanya ingin hidup, tetapi kalian bahkan tak peduli dengan keberadaan kami.”
Bulan bersinar dengan pancaran lemah. “Aku menemani malam kalian, memberikan keindahan dan kedamaian. Tapi kini, cahaya lampu-lampu kota membuatku tak lagi berarti. Bintang-bintang yang dulu bersamaku kini tenggelam dalam kegelapan yang kalian ciptakan.”
Di tengah padang, seekor rusa berbicara dengan suara pelan. “Kami dulu hidup bebas, menjelajahi hutan dan padang tanpa takut. Tapi kini, kalian memburu kami, merampas rumah kami, dan menjadikan kami objek hiburan. Keberadaan kami semakin terancam, seolah kami tak lagi layak hidup di dunia ini.”
Di akhir segalanya, alam berbicara serempak. “Kami adalah rumah kalian, tempat kalian hidup dan berkembang. Namun kalian menyakiti kami tanpa henti. Dengarkan suara kami yang pilu ini. Kami tak meminta banyak, hanya perlakuan yang adil dan penghormatan pada kehidupan. Jika kami rusak, kalian pun akan binasa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H