Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tertunduk di Kaki Langit

11 Desember 2024   00:23 Diperbarui: 11 Desember 2024   01:04 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tertunduk, koleksi Rudi Sinaba, dibuat memakai Meta AI

Aku menyadari bahwa di dunia ini, kita hanya memiliki sedikit kendali. Ada batas yang tidak bisa kita lewati, dan kaki langit adalah salah satu simbol dari batas itu. Menyentuhnya bukanlah tugas kita, tapi menghormatinya adalah sebuah pelajaran.

 Langit malam mulai turun perlahan, membawa kegelapan yang lembut. Bintang-bintang muncul satu per satu, seolah menyaksikan keheningan ini. Di sana, aku merasa kecil tetapi tidak tak berarti. Ada peran kecilku dalam harmoni besar semesta.

Aku mulai memahami bahwa kerendahan hati bukanlah kelemahan. Ia adalah cara kita merangkul kehidupan tanpa rasa takut. Di kaki langit ini, aku belajar untuk tidak selalu bertanya “mengapa,” tetapi menerima dengan lapang dada.

Tunduk di hadapan langit bukanlah sebuah kekalahan. Justru, di sini aku merasa paling manusiawi. Aku memahami bahwa hidup bukan tentang memenangkan segalanya, tetapi tentang menemukan tempat di mana kita bisa berdamai dengan diri sendiri.

 Angin malam mulai berhembus, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Aku memejamkan mata, membiarkan diriku larut dalam rasa damai yang jarang kurasakan. Tak ada penyesalan di tempat ini, hanya penerimaan yang mendalam.

Jika langit adalah cermin, maka di dalamnya aku melihat refleksi diriku yang sejati. Seorang manusia kecil dengan hati yang penuh pertanyaan, tetapi juga dengan kapasitas untuk merasakan keindahan dalam keterbatasan.

“Hidup bukan tentang mencapai langit,” bisik hati kecilku, “melainkan tentang menghormati jarak yang ada di antaranya.” Dan aku tahu, inilah pelajaran terbesar yang kutemukan di tempat ini.

Tersungkur di kaki langit adalah pengakuan, bahwa aku hanyalah bagian kecil dari rencana besar yang tak kumengerti. Tetapi di dalam pengakuan itu, ada kebebasan. Aku tidak lagi terikat pada ambisi yang tak berujung.

Langit adalah saksi bisu dari semua perjalanan hidupku. Ia tidak menilai, tidak menghukum. Ia hanya ada di sana, menjadi pengingat bahwa dalam kerendahan hati, kita bisa menemukan kebesaran.

 Ketika fajar mulai menyapa, aku bangkit perlahan. Kaki langit tetap di sana, menjadi batas yang indah sekaligus menakutkan. Tetapi aku tahu, hidupku telah berubah. Aku berjalan pergi, dengan hati yang lebih ringan, dan jiwa yang lebih damai.

Aku menatap langit yang mulai dipenuhi warna keemasan fajar, dan di sanalah aku menemukan makna yang selama ini kucari. Di balik batas cakrawala yang tak tergapai, ada kekuasaan yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah kubayangkan. Langit tidak sekadar menjadi saksi atas kecilnya diriku, tetapi juga menjadi pengingat akan Sang Pencipta yang mengatur segala sesuatu dengan penuh kebijaksanaan. Di hadapan kebesaran-Nya, aku merasa diriku rapuh namun dilindungi, lemah namun dipeluk dengan cinta yang tak bertepi. Hanya dengan tunduk kepada-Nya, aku menemukan ketenangan yang selama ini hilang dalam hiruk-pikuk pencarian duniawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun