Kau beringin tua, saksi sejarah,
Mengabadikan jejak dengan sabar dan pasrah,
Setiap helai daunmu menyimpan kisah,
Tentang dunia yang terus berubah arah.
Elegi ini adalah doa bagi dirimu,
Yang tetap memeluk bumi yang pilu,
Beringin tua, penjaga waktu,
Semoga kau tak pernah jatuh membisu.
 Kau tahu rahasia hujan dan angin,
Menyimpan kenangan dalam akar yang dingin,
Namun manusia tak lagi mengerti,
Menghancurkan tanah, meninggalkan janji.
Dalam bayangmu, ada keheningan,
Simbol keteguhan dan keabadian,
Namun kini, siapa yang peduli?
Kau berdiri sendiri, menjaga bumi.
Penjaga waktu, kau terus bertahan,
Meski dunia penuh kehancuran,
Akar-akar itu tetap memeluk,
Tanah yang retak dalam waktu yang gelap.
 Oh, beringin tua, penjaga yang sunyi,
Dalam diammu ada hikmah yang tersembunyi,
Tentang perjalanan yang harus diterima,
Meski dunia semakin terluka.
 Waktu berlalu, namun kau tetap tegak,
Menjadi saksi kisah yang berjejak,
Namun dunia melupakan keberadaanmu,
Hanya menatap ke depan tanpa mengenalmu.
Kau adalah simbol kebijaksanaan,
Tentang hidup yang penuh kesabaran,
Namun rantingmu kini hanya menyentuh luka,
Di bumi yang kehilangan cinta.
Beringin tua, penjaga waktu yang setia,
Mengajarkan arti hidup yang tak sia-sia,
Namun siapa yang mendengar kisahmu?
Manusia sibuk mengejar masa depannya semu.
Di akhir bait, kau tetap berdiri,
Melawan waktu yang tak pernah berhenti,
Beringin tua, penjaga yang abadi,
Semoga dunia mengingatmu kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H