Kulihat puisi di matamu,
Cahaya gemilang memeluk jiwaku.
Setiap tatapan adalah aksara,
Mengukir kisah tanpa bersuara.
Mata itu, seperti lautan biru,
Menyimpan rahasia yang tak terungkapkan.
Kau lukiskan bait dalam senyuman,
Menyatu dalam jantung angin yang tenang.
Kulihat senja di mata pudarmu,
Menyatu dengan warna emas yang merindu.
Ada ribuan kata yang menari,
Seperti bayang di ujung jalan semu.
Kau adalah rindu yang tak pernah selesai,
Bersemayam di langit tanpa batas.
Kupu-kupu berterbangan dalam lirih angin,
Dan aku membaca semua di kelopak matamu.
Kau adalah hujan yang jatuh perlahan,
Menyiram debu di halaman kering.
Titik-titiknya berbisik pada bumi,
Menyanyikan syair untuk jiwa yang sepi.
Mata itu adalah halaman kosong,
Kau tuliskan puisimu dengan nafas.
Lembut dan pelan, seperti aliran sungai,
Yang mengisi kerinduan di tiap keheningan.
Kau adalah musim di ujung pelangi,
Merangkum warna tanpa pernah habis.
Kutemukan diriku dalam cermin matamu,
Sebagai penyair yang tak pernah selesai.
Kulihat ketulusan di balik keriputmu,
Setiap garisan adalah sejarah yang indah.
Kau adalah syair yang lahir tanpa kata,
Melodi yang menembus setiap rasa.
Kulihat api membara di sana,
Bercahaya di balik pandangan tajam.
Kau menulis kisah tentang kita,
Dengan tinta yang terbakar waktu.
Matamu adalah petunjuk arah,
Menuntunku melalui lorong sunyi.
Aku tenggelam dalam makna bisu,
Dan menemukan diriku di relungmu.