Pengantar
"Bunga yang tidak akan layu di bumi hanyalah kebajikan." William Cowper (Penyair Inggris 1731-1800)
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, salah satu prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi adalah kebaikan bersama (common good) yang diwujudkan melalui kebijakan publik yang berpijak pada nilai-nilai moral dan kebajikan. Demokrasi bukan hanya tentang mekanisme pemilihan umum atau pembagian kekuasaan, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan yang diambil oleh pemerintah berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, dengan menekankan pada prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan sosial. Demokrasi yang berpijak pada kebajikan mengedepankan moralitas dalam penyusunan kebijakan, mengingat bahwa kebajikan adalah cerminan dari nilai-nilai luhur yang harus menjadi dasar dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas.
Dalam kerangka ini, hubungan antara kebijakan dan kebajikan tidak dapat dipisahkan. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang berorientasi pada kebaikan bersama dan dilaksanakan oleh pemerintah yang memiliki kebajikan pribadi. Oleh karena itu, pemerintahan yang demokratis harus selalu menjaga keseimbangan antara kedua unsur ini untuk menciptakan tatanan sosial yang adil, berkelanjutan, dan tidak merugikan pihak manapun, terutama kelompok-kelompok yang rentan dalam masyarakat.
1. Kebijakan Berbasis Kebajikan: Teori dan Praktik
Kebijakan berbasis kebajikan dapat dipahami sebagai kebijakan yang dirancang dengan mempertimbangkan nilai-nilai moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kebijakan semacam ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan yang merata, bukan hanya bagi sekelompok orang, tetapi bagi seluruh lapisan masyarakat.Â
John Rawls, seorang filsuf politik terkenal, dalam karyanya A Theory of Justice (1971), mengemukakan teori keadilan yang sangat relevan dalam konteks ini. Rawls memperkenalkan konsep "veil of ignorance," yang mengajarkan bahwa kebijakan yang adil harus dirancang seolah-olah pembuat kebijakan tidak mengetahui posisi sosial mereka. Dengan kata lain, mereka harus mempertimbangkan kebijakan yang menguntungkan semua orang, terutama kelompok yang paling terpinggirkan. Prinsip ini mengarah pada kebijakan yang berbasis kebajikan seperti pemerataan ekonomi, perlindungan kelompok rentan, dan jaminan hak asasi manusia.
Sebagai contoh, kebijakan afirmatif yang melibatkan distribusi bantuan sosial untuk keluarga miskin atau program subsidi pendidikan bagi anak-anak kurang mampu merupakan contoh kebijakan yang berbasis pada kebajikan. Kebijakan semacam ini mencerminkan nilai keadilan sosial, yang menurut Amartya Sen, seorang ekonom dan filsuf, adalah kunci dalam mencapai "kehidupan yang layak" bagi semua orang. Sen menekankan pentingnya kebijakan yang tidak hanya menilai kemakmuran berdasarkan pendapatan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja yang setara.
Namun, meskipun kebijakan berbasis kebajikan memiliki tujuan yang mulia, dalam praktiknya sering kali menghadapi hambatan. Tantangan utama adalah konflik kepentingan antara berbagai kelompok dalam masyarakat yang memiliki prioritas yang berbeda. Oleh karena itu, sebuah pemerintahan demokratis harus mampu bernegosiasi dan menciptakan konsensus dalam menyusun kebijakan berbasis kebajikan yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan semua pihak.
2. Kebajikan dalam Kebijakan: Integritas dan Kejujuran dalam Pemerintahan
Pelaksana kebijakan, baik pejabat pemerintah, legislatif, maupun birokrat, memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kebijakan berbasis kebajikan. Dalam hal ini, kebajikan pribadi para pemimpin menjadi dasar bagi keberhasilan kebijakan tersebut. Seorang pemimpin publik yang memiliki kebajikan akan mampu mengintegrasikan prinsip moral dalam setiap keputusan yang diambil. Filsuf Aristoteles dalam Nicomachean Ethics mengemukakan bahwa kebajikan pribadi, seperti kejujuran, keadilan, dan integritas, adalah kualitas yang harus dimiliki oleh setiap individu yang memegang posisi kekuasaan.