Di sudut malam, duka datang bertamu,
Dengan wajah kelam dan suara sendu.
"Apa kabarmu?" tanyanya perlahan,
Ku jawab tegas, "Aku masih bertahan."
Duka tertawa, sinis dan nyaring,
"Kau bilang bertahan, tapi kau sering hening.
Apa arti hidup, jika terus kau tangisi,
Seakan bahagia tak pernah kau miliki?"
Aku menatapnya, mataku berkilat,
"Duka, kau hadir saat hatiku terbelah.
Tapi jangan kira aku akan menyerah,
Meski luka ini membuatku lelah."
Duka membalas, "Aku teman setiamu,
Menemani malam saat kau kehilangan haru.
Bukankah aku yang mengajarimu tangguh?
Tanpa aku, jiwamu akan rapuh."
Aku berteriak, "Cukup sudah!
Kehadiranmu hanya membawa resah.
Bahagia bukan lawan yang harus kau singkirkan,
Ia milikku, meski sering kau usahakan hilang."
Duka tersenyum, pandangnya menusuk,
"Kau takkan lari, kau tahu aku merasuk.
Aku bukan musuh, hanya bagian dirimu,
Bayangan kelam yang selalu membelenggu."
Aku menjawab, "Tapi aku punya cahaya,
Harapan di hati yang tak pernah sirna.
Kau mungkin gelap, tapi aku tetap terang,
Melangkah maju meski luka menghalang."
Duka terdiam, sejenak merenung,
"Kau kuat," katanya, "meski hatimu terhimpun.
Tapi ingatlah, aku akan selalu ada,
Karena tanpa duka, hidup tak sempurna."
Aku mengangguk, menerima kenyataan,
"Duka, kau bagian dari perjalanan.
Tapi jangan harap kau bisa menguasai,
Hatiku milikku, bukan milik sepi."
Berdebat dengan duka, aku memahami,
Ia tak pergi, tapi tak harus kuikuti.
Setiap langkah adalah pelajaran,
Antara tangis dan tawa, aku temukan jalan.