Puisimu 30 Tahun Lalu
Tiga dekade yang lalu, di malam yang diam,
Kau goreskan kata, menembus kelam,
Kertas lusuh, tinta hitam,
Menyimpan mimpi, berbalut dendam.
Di sudut sepi, kau berbisik pada langit,
Menanyakan hidup yang penuh sakit,
Adakah harapan, meski kecil dan sempit,
Atau hanya luka, selalu menghimpit?
Puisimu saat itu penuh gelora,
Berbicara tentang cinta dan bahagia,
Namun juga teriak tentang kecewa,
Pada dunia yang penuh cela.
Huruf-hurufmu menari dalam rindu,
Menggapai angan yang tak pernah satu,
Mencari makna di balik waktu,
Namun jawabannya selalu bisu.
Kau tulis tentang cinta yang hilang,
Tentang janji yang tinggal bayang,
Tentang mimpi yang tenggelam di arang,
Namun tetap kau puja, bagai bintang.
Ada air mata di setiap bait,
Mengalir pelan, menghantam langit,
Mengungkap luka yang terus menghimpit,
Namun kau berdiri, tak pernah surut.
Puisimu, saksi masa yang jauh,
Ketika harapan masih membuncah,
Namun kenyataan, tajam dan parah,
Merobek jiwa hingga pasrah.
Tapi di sana, ada keberanian,
Menantang dunia tanpa kesedihan,
Meski luka tetap berdiam,
Puisimu menantang keterasingan.
Kini tiga puluh tahun berlalu,
Kau baca kembali kata yang dulu,
Seolah berbicara pada dirimu,
Yang muda, penuh bara dan ragu.
Puisimu masih hidup, penuh suara,
Menggema di jiwa, tanpa tara,
Meski waktu menghapus warna,
Maknanya kekal, bagai udara.