Bicaralah Secukupnya
Di dunia ini, kata-kata adalah gelombang,
menghantam pantai, kadang lembut, kadang liar.
Terlalu banyak, ia menenggelamkan;
terlalu sedikit, ia memisahkan.
Bicaralah secukupnya,
seperti angin malam yang merayu,
tidak mendesak, tidak memaksa,
hanya menyentuh, lalu berlalu.
Lidah adalah pedang,
tapi bisikan adalah peluru.
Membidik hati tanpa darah,
meninggalkan bekas tanpa luka.
Kita sering lupa,
bahwa diam adalah bahasa
yang tak kalah bermakna
dengan suara yang bergemuruh.
Kata-kata, jika tak terukur,
bisa menjadi jebakan;
menggali lubang bagi yang berkata,
meninggalkan jurang bagi yang mendengar.
Bicaralah seperti hujan,
yang turun saat dibutuhkan,
tidak berlebihan, tidak mengganggu,
membasahi tanpa membanjiri.
Ketahuilah,
bahkan sunyi bisa berdialog;
ia berbicara dalam jeda,
dalam napas yang tertahan.
Apa gunanya berteriak,
jika maknanya terbang
seperti debu yang beterbangan?
Apa gunanya kata, tanpa rasa?
Bicaralah secukupnya,
karena hidup bukan tentang menang;
tapi tentang memahami,
dan dipahami tanpa paksa.
Dalam batas kata,
ada ruang untuk mendengar.
Dalam diam,
ada peluang untuk mengerti.
Kita adalah narator,
bukan pembicara yang tak henti.
Dunia ini tak butuh lebih banyak suara;
ia butuh lebih banyak kebijaksanaan.
Bicaralah secukupnya,
seperti bintang di malam gelap;
tak perlu banyak,
cukup satu untuk menerangi.
Jangan takut diam;
ia bukan kekosongan.
Diam adalah wadah
bagi kata yang benar-benar perlu.
Di ujung cerita,
kata-kata tak akan dikenang,
tapi perasaan yang tertinggal
akan terus hidup dalam jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H