Ragukanlah perasaan,
yang menyelinap di dada.
Apakah ia murni,
atau hanya permainan rasa?
Ragukanlah getar,
saat tangan bertemu tangan.
Apakah itu cinta,
atau sekadar ilusi harapan?
Ragukanlah rindu,
yang meronta di malam sepi.
Apakah ia tulus,
atau bayangan diri yang letih?
Ragukanlah amarah,
yang meledak seperti badai.
Apakah itu keberanian,
atau ketakutan yang terurai?
Ragukanlah tangis,
yang jatuh di pipi basah.
Apakah itu luka,
atau sekadar drama jiwa lelah?
Ragukanlah senyum,
yang terlukis di wajah ceria.
Apakah itu bahagia,
atau topeng yang menyembunyikan derita?
Ragukanlah cinta,
yang berbisik di balik pintu.
Apakah ia abadi,
atau fana seperti debu?
Ragukanlah sepi,
yang hadir dalam kesendirian.
Apakah itu musuh,
atau teman perjalanan?
Ragukanlah kasih,
yang kau peluk dengan erat.
Apakah itu rumah,
atau labirin yang rumit terlipat?
Ragukanlah harap,
yang kau gantungkan di bintang.
Apakah ia terang,
atau hanya khayal yang hilang?
Ragukanlah benci,
yang membara dalam jiwa.
Apakah itu lawan,
atau luka yang tak pernah sembuh?
Ragukanlah tawa,
yang pecah di antara ramai.
Apakah itu kebahagiaan,
atau penyangkalan yang diam-diam?
Ragukanlah percaya,
yang kau genggam di pagi buta.
Apakah itu tulus,
atau bayangan yang akan sirna?
Ragukanlah segalanya,
kecuali satu:
Bahwa perasaan tahta ilahi,
tempat jiwa mencari kebenaran.
Dan di ujung keraguan,
mungkin kau temukan keheningan.
Bukan untuk meragukan lagi,
tetapi untuk mengerti arti rasa yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H