Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Termakan Rayuan Zaman

21 November 2024   14:04 Diperbarui: 21 November 2024   14:05 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Termakan Rayuan Zaman

Di persimpangan waktu yang penuh tanda,
Manusia berjalan dengan mata terbuka,
Namun, hatinya tertutup oleh kilau maya,
Dunia menawarkan mimpi dalam layar kaca.

Cahaya neon menjadi pelita jiwa,
Bersinar terang, memabukkan rasa,
Namun makna hidup terselip entah di mana,
Diganti janji instan yang tak pernah nyata.

Rayuan zaman, seperti sirene di laut lepas,
Mengundang jiwa, membius tanpa batas,
Apa arti esensi dalam gemuruh ini?
Ketika semuanya berlalu tanpa henti.

Kita memuja layar lebih dari pelukan,
Mengukur cinta dengan notifikasi dan cuitan,
Hingga lupa aroma angin dan suara hujan,
Yang dulu mengisi hati tanpa beban.

Di balik gemilang kota yang tak pernah tidur,
Ada jiwa-jiwa lelah yang mulai hancur,
Mengejar sukses dengan detak detik yang kabur,
Hingga lupa merangkai mimpi yang jujur.

Kita tersesat di jalan yang penuh angka,
Menghitung segalanya, bahkan rasa suka,
Seolah hidup adalah tabel data,
Tanpa jeda untuk bertanya, "Apa arti semua ini sebenarnya?"

Rayuan zaman merangkak ke dalam dada,
Mengubah cinta menjadi transaksi belaka,
Menukar senyum dengan emoji tak bernyawa,
Menghapus sentuhan, mengganti suara.

Kita berlomba menjadi yang tercepat,
Namun lupa tujuan di mana kita melesat,
Meraih piala yang tak pernah memuaskan,
Sementara hati perlahan kehilangan pegangan.

Mimpi menjadi ilusi yang dijual mahal,
Dalam iklan yang menari penuh skandal,
Hidup dituntun seperti boneka dangkal,
Kehilangan makna, kehilangan akal.

Lalu kapan kita berhenti sejenak?
Melihat langit, mendengar detak,
Mencari lagi apa yang sejati,
Sebelum semuanya terlambat untuk diperbaiki.

Zaman ini menjerat dalam tali emas,
Namun kilapnya hanya fatamorgana yang lepas,
Saat jiwa terjaga, semuanya runtuh,
Kenyataan ternyata adalah angin yang rapuh.

Termakan rayuan, kita lupa pada akar,
Bahwa hidup bukan soal jadi terkenal,
Namun tentang langkah-langkah yang sadar,
Dan arti kasih dalam dunia yang kian gamang.

Kini saatnya bangkit dari buaiannya,
Melawan pesona palsu yang menyilaukan mata,
Kembali ke hati, kembali ke nurani,
Menemukan hidup yang sejati, yang abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun