Di balik diam yang sunyi, tersembunyi rasa,
Tidak selalu tenang, tidak selalu bahagia,
Seringkali hanya sebuah topeng yang menutup luka,
Diam belum tentu emas, kadang hanya dusta.
Saat bibir terkatup rapat tanpa kata,
Ada hati yang bergejolak, teriak tanpa suara,
Diam di luar, namun di dalam jiwa berontak,
Seperti ombak besar di samudera yang tak nampak.
Banyak yang berkata, diam itu bijaksana,
Namun di sana ada jiwa yang terperangkap derita,
Diam bukan emas ketika hati terluka,
Hanya sebuah penjara tanpa pintu terbuka.
Kadang diam adalah ketakutan yang tak terucap,
Menahan beban, tak tahu bagaimana melepaskan,
Bukan karena tidak tahu atau tak paham,
Tapi karena takut dunia tak mau mendengarkan.
Di tengah keramaian, diam menjadi pilihan,
Menutupi rasa sakit dari tatapan penuh harapan,
Namun bukan berarti semua baik-baik saja,
Diam bisa menjadi jeritan yang tak terdengar oleh siapa.
Ada saatnya diam adalah protes yang tertahan,
Ketika kata-kata terasa tak lagi bermakna,
Diam bukanlah emas bagi jiwa yang terperangkap,
Ia hanya menjadi beban yang tak terlepaskan.
Banyak hati yang memilih diam dalam perih,
Mengira itu adalah jalan terbaik untuk berdamai,
Namun luka tak pernah sembuh dengan sendiri,
Diam bisa menjadi racun yang tak terlihat, perlahan mematikan.
Dalam sunyi, ada amarah yang tersembunyi,
Ada kesedihan yang dipendam tanpa henti,
Diam bukanlah solusi, hanya sebuah sembunyi,
Menutupi kebenaran yang sulit terungkap di sisi.
Di dunia yang gemuruh dengan suara-suara lantang,
Diam menjadi kebisuan yang membebani,
Tidak selalu menjadi emas yang berharga,
Kadang hanya menjadi luka yang tak terobati.
Jika diam adalah emas, mengapa ada air mata?
Mengapa ada luka yang tak sembuh di dada?
Mungkin diam adalah ketidakberdayaan,
Atau rasa takut yang terperangkap dalam keraguan.