Merana tanpa derita, sunyi yang meresap,   Di balik senyum yang tersembunyi, hati terkatup rapat. Tak ada air mata, tak ada luka yang menganga, Namun kesepian datang, merasuki jiwa yang tumpul.
Kehidupan berjalan seperti bayangan yang samar,
Tanpa tujuan, tanpa harapan yang jelas.
Hati yang kosong, dunia yang hampa,
Berkelana tanpa arah, tak pernah menemukan tempat pulang.
Senyum terukir di wajah, tapi tak terasa hangat,
Bagaikan musim yang tak pernah berubah.
Merana tanpa derita, entah mengapa,
Hidup ini terasa seperti malam yang panjang tanpa ujungnya.
Di antara keramaian, aku merasa sepi,
Sebab kebahagiaan tampak begitu jauh.
Tanpa perasaan, tanpa gairah yang membara,
Aku berjalan, tapi tidak maju, hanya berdiri di tempat.
Merana tanpa derita, aku bertanya pada diri,
Apakah ini yang disebut dengan kesendirian abadi?
Mencari sesuatu yang hilang, tanpa tahu apa,
Hanya ada hampa di ruang yang seharusnya penuh.
Rasa lelah datang tanpa perjuangan,
Luka tak nampak, namun terasa dalam.
Seperti musim gugur yang tak berujung,
Semua keindahan berubah menjadi debu, lalu hilang.
Terkadang aku bertanya, apakah ini harga untuk hidup?
Menanggung beban tanpa ada sebab yang jelas.
Merana tanpa derita, sebuah paradoks,
Di mana hidup terasa beku, namun tidak sakit.
Ada yang hilang di antara kesunyian,
Keinginan untuk merasa, untuk merasakan apa pun.
Namun, segala yang ada hanyalah angin yang berlalu,
Meninggalkan jejak yang tak mampu kupegang.
Sebuah kelapangan yang seakan mengikat,
Tak ada yang bisa menyentuh hatiku yang kaku.
Merana tanpa derita, tapi rasa ini dalam,
Sebagai perasaan yang tidak bisa dijelaskan, hanya ada.
Di sini, aku terjebak dalam lingkaran yang tak tampak,
Tidak ada luka, namun semua terasa hampa.
Sebuah perjalanan tanpa akhir, tanpa tujuan,
Merana tanpa derita, menjadi bagian dari kehidupan.
Aku ingin keluar, tapi tak tahu ke mana,
Karena setiap jalan tampak sama.
Merana tanpa derita, tak ada yang tahu,
Betapa dalamnya rasa yang tak pernah bisa pergi.