Hakim dalam sistem common law sering kali dituntut untuk menafsirkan teks hukum atau konstitusi yang ambigu. Dalam hal ini, mereka tidak hanya menerapkan hukum secara tekstual tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan perkembangan masyarakat.
Contoh:
Di Inggris, kasus Pepper v Hart (1993) menjadi preseden penting tentang bagaimana hakim dapat menafsirkan undang-undang dengan menggunakan catatan parlemen (Hansard) untuk menjelaskan maksud undang-undang tersebut. Sebelum kasus ini, hakim di Inggris cenderung menolak menggunakan sumber eksternal dalam menafsirkan teks hukum.
Di Amerika Serikat, kasus Roe v. Wade (1973) mengilustrasikan bagaimana Mahkamah Agung menafsirkan Konstitusi untuk memutuskan hak seorang wanita terhadap aborsi. Meskipun tidak ada klausul eksplisit dalam Konstitusi tentang aborsi, para hakim menafsirkan bahwa hak atas privasi yang dijamin oleh Amandemen Keempatbelas mencakup hak untuk melakukan aborsi.
Menurut Oliver Wendell Holmes Jr., seorang hakim terkenal di Mahkamah Agung Amerika Serikat, "The life of the law has not been logic; it has been experience." Holmes menekankan bahwa hukum berkembang melalui pengalaman dan adaptasi terhadap perubahan masyarakat, dan hakim memiliki peran penting dalam melakukan penafsiran ini.
3. Penggunaan Preseden dan Stare Decisis
Salah satu ciri khas sistem common law adalah penggunaan preseden. Prinsip stare decisis menyatakan bahwa keputusan pengadilan yang lebih tinggi menjadi panduan bagi pengadilan yang lebih rendah dalam kasus-kasus serupa. Ini memberikan kepastian dan konsistensi dalam penerapan hukum.
Contoh:
Di Inggris, putusan R v R (1991), di mana House of Lords (sekarang Supreme Court) memutuskan bahwa pemerkosaan dalam perkawinan adalah tindakan ilegal. Sebelum keputusan ini, pemerkosaan dalam pernikahan dianggap tidak mungkin secara hukum. Keputusan ini menjadi preseden yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan lainnya, mengubah pandangan hukum terhadap hak perempuan dalam perkawinan.
Di Amerika Serikat, putusan Miranda v. Arizona (1966) menetapkan bahwa polisi harus memberi tahu tersangka tentang hak mereka saat penangkapan (Miranda Rights). Ini menjadi preseden yang diikuti oleh semua pengadilan di Amerika Serikat dalam kasus pidana.
Ahli hukum Inggris, Lord Denning, menyatakan bahwa "The doctrine of precedent is not a straitjacket, but a principle of guidance." Menurutnya, preseden adalah panduan bagi hakim tetapi bukan penghalang yang membatasi penafsiran hukum yang lebih adil dan relevan dengan perkembangan zaman.