Di balik malam yang penuh misteri,
Kala bulan berbisik dalam hening sunyi,
Aku melangkah di jalan sepi,
Bermimpi tentang mimpi yang tak kunjung pergi.
Di ranah kabut dan bayangan suram,
Suara hati berbincang tanpa dendam,
Melintasi jembatan mimpi kelam,
Berharap sinar menerangi malam.
Bersama desir angin yang menyapa,
Aku menari di alam tak nyata,
Mengejar bayang di balik jendela,
Di sana kutemukan seberkas cahaya.
Namun cahaya itu pun memudar,
Seperti awan ditelan petang,
Lalu aku tersadar dan sadar,
Ternyata ini mimpi yang datang bertandang.
Berjalan di taman bunga hitam,
Setiap kelopak berbisik dalam diam,
Menyimpan rahasia yang terpendam,
Tentang perjalanan yang tak pernah padam.
Langkahku bergetar, mataku mendamba,
Melihat jejak-jejak yang sirna,
Seperti melodi yang tak selesai,
Mengalun dan lenyap di langit usai.
Di dalam mimpi ini kutemui diriku,
Wajah yang akrab tapi asing selalu,
Bertanya dengan nada pilu,
“Adakah yang nyata di ruang kalbu?”
Mimpi ini adalah jerat waktu,
Mengikatku pada yang tak nyata,
Menghapus batas, membangun tipu,
Hingga tak tahu mana fana mana surga.
Mata terpejam, hati berlayar,
Tersesat di lautan harapan samar,
Berlabuh di pulau yang tak pernah dikenal,
Di antara riuh dan hening yang seakan pudar.
Lalu terdengar gema tawa,
Menjauh saat kusentuh bayangan senja,
Aku terjaga dalam debar,
Hanya untuk menyadari mimpi tak pudar.
Melangkah lagi, di jalan yang sama,
Berulang, menari di ruang fana,
Mengejar ilusi yang tiada habis,
Bermimpi di dalam mimpi yang menangis.
Saat fajar menjelma perlahan,
Aku terbangun, tapi tak sepenuhnya,
Rasa mimpi itu tetap tertanam,
Menunggu malam untuk kembali memuja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H