Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seandainya Robot Bisa Menjadi Hakim

5 November 2024   12:03 Diperbarui: 5 November 2024   12:30 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seandainya saja robot bisa menjadi hakim, mungkin ruang sidang tidak lagi dipenuhi dengan janji-janji palsu dan senyum tipis yang menyimpan dusta. Bayangkan robot, dengan kilatan matanya yang dingin dan sirkuit yang berdenyut oleh logika, duduk di kursi mahkamah. Tidak ada tawaran di bawah meja, tidak ada bisik-bisik konspirasi di koridor gelap, hanya keadilan yang tegak tanpa rasa takut, tanpa tawar-menawar.

Di bawah pandangan robot yang tak mengenal lelah, fakta dan bukti adalah batu-bata yang membangun putusan. Semua terdakwa akan berdiri setara, tidak ada keistimewaan, tidak ada pemutarbalikan nasib dengan amplop tebal.

 Di dunia tempat robot memegang palu keadilan, kejahatan tidak bisa lagi berlindung di balik status atau harta. Apakah yang disebut pengaruh? Baginya, hanya sebuah kata tanpa makna.

Namun, di balik khayalan itu, ada sekelumit kegelisahan. Mungkinkah keadilan bisa sepenuhnya dipisahkan dari empati? Apakah vonis-vonis yang ditegakkan oleh algoritma murni akan menghargai sisi manusiawi—perjuangan, kesalahan, dan kesempatan kedua? Robot tidak mengenal belas kasihan; ia hanya mengenal benar dan salah.

Kenyataan di negeri ini terlalu pahit. Para hakim manusia, yang seharusnya menjadi penegak keadilan, sering kali hanya berdiri sebagai bayangan dari idealisme yang tak lagi dikenali. Korupsi judisial tak lagi malu-malu. Ia berjalan di depan mata, tertawa lepas dengan ketiadaan konsekuensi. Proses hukum sering kali lebih menyerupai sandiwara, di mana tirai ditutup setelah permainan diselesaikan dengan perjanjian yang disepakati di balik layar.

Mungkin, frustrasi inilah yang membuat banyak orang berpaling pada angan-angan, “Seandainya saja robot bisa menjadi hakim.” Angan-angan yang tidak akan terwujud, namun setidaknya memberikan seberkas cahaya pada mereka yang lelah dengan kenyataan. Karena di bawah imajinasi, keadilan yang tegak tanpa noda korupsi setidaknya bisa dirasakan, meskipun hanya sejenak, dalam pikiran.

Tapi kita tahu, keadilan yang sempurna tidak bisa hanya berharap pada logika mesin. Harapan sejati ada di hati manusia, yang suatu hari, jika cukup berani dan teguh, bisa melawan arus busuk yang telah berakar. Hingga saat itu tiba, mungkin kita hanya bisa berujar dengan getir: Seandainya saja robot bisa menjadi hakim.

Tetapi jika robot menjadi hakim, apakah kita siap menghadapi dunia yang terprogram, tanpa ruang bagi ironi, tanpa celah untuk keraguan? Di balik perangkat keras yang bersih, ada algoritma yang tertulis oleh tangan manusia. 

Siapakah yang menuliskan kode-kode itu? Apakah mereka cukup bijaksana untuk menanamkan keadilan sejati di dalam logika dingin sebuah mesin? Mungkin di sana, korupsi menemukan jalan baru, tersembunyi dalam deretan baris kode yang sulit diuraikan.

Dan apa yang akan terjadi pada para pencari keadilan yang datang dengan cerita, cerita yang tak dapat diukur dengan angka? Seorang ibu yang mencuri sebungkus roti untuk anaknya, seorang pemuda yang jatuh ke lubang gelap karena kemiskinan yang mencekik, akankah mereka mendapat tempat dalam sidang tanpa emosi? Robot tidak mengenal rasa lapar atau air mata; ia hanya mengenal pelanggaran dan hukuman.

Di sisi lain, harapan itu tetap hidup. Setidaknya, dengan sebuah robot di kursi kehakiman, kita tidak perlu lagi menyaksikan hukum dipermainkan oleh mereka yang punya uang dan kekuasaan. 

Tidak akan ada lagi ketukan palu yang disertai kelicikan, tidak ada lagi keputusan yang dibeli dengan senyum palsu dan perjanjian rahasia. Di mata robot, kita semua hanya angka dan data, tidak ada korupsi yang bisa membeli putusan.

Namun, di dunia manusia, keadilan sejati tidak sesederhana hitam dan putih. Keberanian untuk melawan korupsi bukanlah hal yang bisa ditiru oleh logika. Setiap peradilan adalah panggung, di mana kebenaran sejati sering terjebak dalam permainan bayangan. Hanya manusia yang bisa merasakan keraguan dan memilih untuk tetap teguh di jalan kebenaran.

Mungkin saat ini, kita belum siap untuk menggantungkan harapan pada mesin yang dingin. Tapi dalam mimpi-mimpi kita, robot yang tak tersentuh korupsi itu tetap berdiri, mengawasi dari kejauhan, seperti pengingat bahwa keadilan seharusnya tidak memiliki harga. 

Hingga harapan pada manusia kembali menyala, mungkin kita hanya bisa memandang ke arah masa depan dengan harapan kosong, sambil berbisik, seandainya saja robot bisa menjadi hakim.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun