robot bisa menjadi hakim, mungkin ruang sidang tidak lagi dipenuhi dengan janji-janji palsu dan senyum tipis yang menyimpan dusta. Bayangkan robot, dengan kilatan matanya yang dingin dan sirkuit yang berdenyut oleh logika, duduk di kursi mahkamah. Tidak ada tawaran di bawah meja, tidak ada bisik-bisik konspirasi di koridor gelap, hanya keadilan yang tegak tanpa rasa takut, tanpa tawar-menawar.
Seandainya sajaDi bawah pandangan robot yang tak mengenal lelah, fakta dan bukti adalah batu-bata yang membangun putusan. Semua terdakwa akan berdiri setara, tidak ada keistimewaan, tidak ada pemutarbalikan nasib dengan amplop tebal.
Di dunia tempat robot memegang palu keadilan, kejahatan tidak bisa lagi berlindung di balik status atau harta. Apakah yang disebut pengaruh? Baginya, hanya sebuah kata tanpa makna.
Namun, di balik khayalan itu, ada sekelumit kegelisahan. Mungkinkah keadilan bisa sepenuhnya dipisahkan dari empati? Apakah vonis-vonis yang ditegakkan oleh algoritma murni akan menghargai sisi manusiawi—perjuangan, kesalahan, dan kesempatan kedua? Robot tidak mengenal belas kasihan; ia hanya mengenal benar dan salah.
Kenyataan di negeri ini terlalu pahit. Para hakim manusia, yang seharusnya menjadi penegak keadilan, sering kali hanya berdiri sebagai bayangan dari idealisme yang tak lagi dikenali. Korupsi judisial tak lagi malu-malu. Ia berjalan di depan mata, tertawa lepas dengan ketiadaan konsekuensi. Proses hukum sering kali lebih menyerupai sandiwara, di mana tirai ditutup setelah permainan diselesaikan dengan perjanjian yang disepakati di balik layar.
Mungkin, frustrasi inilah yang membuat banyak orang berpaling pada angan-angan, “Seandainya saja robot bisa menjadi hakim.” Angan-angan yang tidak akan terwujud, namun setidaknya memberikan seberkas cahaya pada mereka yang lelah dengan kenyataan. Karena di bawah imajinasi, keadilan yang tegak tanpa noda korupsi setidaknya bisa dirasakan, meskipun hanya sejenak, dalam pikiran.
Tapi kita tahu, keadilan yang sempurna tidak bisa hanya berharap pada logika mesin. Harapan sejati ada di hati manusia, yang suatu hari, jika cukup berani dan teguh, bisa melawan arus busuk yang telah berakar. Hingga saat itu tiba, mungkin kita hanya bisa berujar dengan getir: Seandainya saja robot bisa menjadi hakim.
Tetapi jika robot menjadi hakim, apakah kita siap menghadapi dunia yang terprogram, tanpa ruang bagi ironi, tanpa celah untuk keraguan? Di balik perangkat keras yang bersih, ada algoritma yang tertulis oleh tangan manusia.
Siapakah yang menuliskan kode-kode itu? Apakah mereka cukup bijaksana untuk menanamkan keadilan sejati di dalam logika dingin sebuah mesin? Mungkin di sana, korupsi menemukan jalan baru, tersembunyi dalam deretan baris kode yang sulit diuraikan.
Dan apa yang akan terjadi pada para pencari keadilan yang datang dengan cerita, cerita yang tak dapat diukur dengan angka? Seorang ibu yang mencuri sebungkus roti untuk anaknya, seorang pemuda yang jatuh ke lubang gelap karena kemiskinan yang mencekik, akankah mereka mendapat tempat dalam sidang tanpa emosi? Robot tidak mengenal rasa lapar atau air mata; ia hanya mengenal pelanggaran dan hukuman.
Di sisi lain, harapan itu tetap hidup. Setidaknya, dengan sebuah robot di kursi kehakiman, kita tidak perlu lagi menyaksikan hukum dipermainkan oleh mereka yang punya uang dan kekuasaan.