Di malam kelam saat dunia terpejam,
Angin berdesir menyapa lembut,
Menghantar dingin yang menusuk,
Menari di atas kulit, menembus tulang.
Namun di sudut hati yang sunyi,
Ada bara yang diam-diam menyala,
Menyelusup di balik lapisan es,
Menghidupkan harapan dalam kehampaan.
Dingin yang membara,
Seperti api tersembunyi di salju,
Menyalakan jiwa yang lelah,
Menghidupkan cinta yang tertidur.
Bintang-bintang berkilauan redup,
Mengamati perang bisu antara dua rasa,
Dingin yang mengikat, membekukan ingatan,
Tapi di sanubari, bara tak pernah padam.
Langkah-langkah berderap di atas salju,
Setiap jejak membawa beban rahasia,
Tentang mimpi yang bertahan di tengah badai,
Tentang rindu yang menolak mati.
Malam terus berjalan,
Membentang seperti lautan kelam,
Namun setiap desah napas,
Menyulut percikan kecil di hati.
Dingin yang membara,
Menjadi paradoks dalam tiap hela,
Menggigilkan tubuh, namun menghangatkan jiwa,
Seperti nyala lilin dalam ruang beku.
Aku memejamkan mata,
Merasakan dua kekuatan beradu,
Satu ingin tenggelamkan,
Yang lain mengajak bertahan.
Embun pagi datang membawa gigil,
Menghampar di rerumputan membeku,
Namun di balik kabut yang putih,
Ada bara kecil yang menunggu terang.
Kekuatan dingin yang menyelimuti,
Tak mampu melumpuhkan semangat itu,
Karena di dalam hati, api terus menjilat,
Mengobarkan harapan, melawan kebisuan.