Panas yang Membeku
Di ufuk timur matahari bangkit,
Mengusir malam dengan cahaya hangat,
Namun di balik terik yang menggeliat,
Ada dingin yang diam, tak kunjung usai.
Panas merayap di dada langit,
Membakar lembah, melumat tanah,
Namun di tengah sorot yang mengancam,
Ada beku yang menyelimuti hati dan rasa.
Panas yang membeku,
Menyulut api tapi membekukan jiwa,
Menyalakan gairah tapi memadamkan tawa,
Menyeret riuh pada bisu yang hampa.
Tetes peluh jatuh di tanah gersang,
Menjadi cermin jiwa yang letih,
Di sana terpantul bayangan redup,
Tentang senyum yang tak lagi terbentuk.
Teriak burung-burung berbisik pilu,
Mencari teduh yang tak pernah ada,
Daun-daun layu seolah bertanya,
Mengapa panas merangkul dingin yang kejam?
Dalam setiap detak jam yang berlalu,
Ada tanya yang terperangkap bisu,
Di mana rasa itu berakhir?
Di mana panas dan beku bertemu?
Mungkin di sini, di jiwa-jiwa kita,
Terjebak dalam badai emosi yang bertentangan,
Panas dan beku bercampur menjadi satu,
Mengisi ruang yang kosong tanpa suara.
Dalam hembusan napas terakhir senja,
Panas melambat, beku semakin erat,
Seolah saling menggenggam,
Dalam tarian tanpa akhir.
Di malam yang datang membawa gelap,
Beku itu tak lagi terasa,
Namun jejak panas masih membara,
Menanti fajar yang kembali merangkak.
Dan begitu seterusnya,
Panas yang membeku,
Adalah kisah dari jiwa-jiwa kita,
Yang mencoba hidup dalam dualitas rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H