sepakat untuk tidak sepakat," sebuah frasa yang tampaknya sederhana tetapi penuh dengan makna mendalam. Ungkapan ini bukan sekadar kompromi, melainkan wujud dari kebijaksanaan yang mengakui bahwa ketidaksetujuan tidak harus berakhir dengan perpecahan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan situasi di mana pendapat kita berbeda dengan orang lain---dari topik sederhana seperti selera musik hingga isu kompleks tentang politik dan moralitas. Mungkin Anda pernah berada dalam percakapan yang memanas dan akhirnya merasa buntu, di mana tidak ada pihak yang mau mengalah atau setuju. Di sinilah muncul konsep "Dalam dunia yang semakin terhubung namun sering terpecah belah oleh perbedaan, memahami dan menerapkan "sepakat untuk tidak sepakat" bisa menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan, baik di tingkat pribadi, sosial, maupun profesional. Bagaimana kita bisa menjadikannya sebagai landasan untuk menghormati keberagaman dan mendorong dialog yang lebih produktif?Â
Mari kita telaah lebih jauh, hal ini dari berbagai aspek agar sikap ini bisa terpelihara dalam dinamika hidup yang semakin kompleks.
1. Aspek Filosofis
Dari sudut pandang filsafat, ungkapan ini mencerminkan pluralisme kognitif, yaitu pemahaman bahwa kebenaran dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan tidak hanya satu kebenaran tunggal. Filosofi ini mengakui bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memahami realitas secara mutlak. Tokoh-tokoh seperti Karl Popper dan John Stuart Mill menyiratkan bahwa perbedaan opini dan kritik sangat penting untuk memperkaya pemahaman dan mendorong kemajuan pemikiran.
John Stuart Mill, seorang filsuf utilitarian, menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan berbicara dalam bukunya On Liberty. Ia berargumen bahwa perbedaan pendapat sangat penting untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kebenaran, karena dalam perdebatan, elemen kebenaran yang terabaikan dapat muncul.
2. Aspek Psikologis
Dari segi psikologi, "sepakat untuk tidak sepakat" dapat menunjukkan kematangan emosional. Orang yang mampu menerima perbedaan tanpa merasa terancam menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kestabilan emosional yang tinggi. Mereka dapat mengakui bahwa ketidaksetujuan tidak berarti penolakan atau ancaman terhadap identitas diri. Hal ini berkaitan dengan empati, yang memungkinkan seseorang untuk memahami dan menghargai perspektif orang lain meskipun tidak sependapat.
Dr. Carl Rogers, seorang psikolog humanis, berbicara tentang pentingnya "acceptance" atau penerimaan tanpa syarat dalam interaksi manusia. Menurut Rogers, orang yang mampu menerima perbedaan tanpa menilai atau bereaksi negatif menunjukkan kedewasaan dan kepekaan emosional yang lebih tinggi.
3. Aspek Sosial dan Budaya
Dalam konteks sosial, frasa ini mencerminkan pentingnya harmoni dalam masyarakat yang beragam. Dalam budaya yang heterogen seperti Indonesia, "sepakat untuk tidak sepakat" relevan untuk menjaga hubungan antarkelompok yang memiliki latar belakang, nilai, dan keyakinan yang berbeda. Hal ini mendorong masyarakat untuk menghargai perbedaan tanpa menimbulkan konflik, mendukung keberlanjutan dialog yang konstruktif.
Clifford Geertz, seorang antropolog, mengamati bahwa masyarakat yang beragam memerlukan pendekatan yang menghargai perbedaan untuk menjaga kohesi sosial. Dalam studinya tentang pluralisme di masyarakat Indonesia, Geertz menyoroti pentingnya memahami dan menghargai keberagaman budaya dan kepercayaan untuk mencegah konflik
4. Aspek Hukum dan Diplomasi
Dalam dunia hukum dan diplomasi, kesepakatan untuk tidak sepakat bisa digunakan untuk menghindari kebuntuan dalam negosiasi. Dalam mediasi hukum, mediator mungkin mengarahkan pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui perbedaan pandangan dan bergerak maju meskipun tidak ada solusi yang disepakati bersama. Dalam diplomasi, negara-negara sering kali menyatakan "sepakat untuk tidak sepakat" sebagai cara untuk tetap mempertahankan hubungan baik sambil mengakui adanya perbedaan prinsip atau kepentingan.
Henry Kissinger, seorang diplomat dan mantan Menteri Luar Negeri AS, menekankan pentingnya negosiasi dalam diplomasi. Dalam bukunya Diplomacy, ia menjelaskan bahwa ketidaksetujuan dalam perundingan seringkali dihadapi dengan pengakuan bersama atas perbedaan tersebut untuk menjaga hubungan yang lebih besar.
5. Aspek Akademis dan Ilmiah
Dalam diskusi akademis, ketidaksepakatan adalah fondasi dari pengembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan dan akademisi sering kali tidak sepakat dalam teori atau interpretasi data, dan ini dianggap sehat. Ketidaksepakatan mendorong penelitian lebih lanjut dan memacu inovasi serta perdebatan yang kaya. Karl Popper, misalnya, berpendapat bahwa ilmu berkembang melalui proses "falsifikasi," di mana hipotesis dihadapkan pada kritik dan tantangan.
 Karl Popper, filsuf ilmu pengetahuan, menyatakan bahwa ilmu berkembang melalui debat yang penuh tantangan dan ketidaksetujuan, yang ia sebut sebagai proses falsifikasi. Menurut Popper, ide-ide ilmiah harus diuji dan ditentang untuk membuktikan validitasnya.
6. Aspek Etis
Secara etis, konsep ini juga penting dalam menjaga martabat manusia. Menghormati perbedaan pandangan orang lain merupakan prinsip dasar dalam etika komunikasi. Ini menghindarkan seseorang dari pemaksaan kehendak dan mempromosikan kebebasan berpikir. Dalam etika diskusi yang baik, "sepakat untuk tidak sepakat" adalah bentuk pengakuan akan kebebasan individu untuk memiliki pandangan yang berbeda.
Immanuel Kant, dalam pemikirannya tentang etika deontologis, menekankan bahwa semua manusia memiliki kewajiban moral untuk menghormati kebebasan berpikir dan berbicara. Pengakuan atas perbedaan pendapat tanpa menghakimi merupakan bagian dari penghormatan terhadap martabat manusia.
7. Aspek Praktis dalam Kehidupan Sehari-Hari
Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan prinsip ini bisa terlihat dalam hubungan pribadi, seperti persahabatan, keluarga, dan pasangan. Ketika dua orang berdebat tentang topik tertentu tetapi akhirnya sepakat untuk tidak sepakat, mereka menunjukkan bahwa hubungan tersebut lebih penting daripada upaya memenangkan argumen. Ini memperkuat ikatan dan memperlihatkan rasa saling menghormati.
Dr. John Gottman, seorang psikolog dan peneliti hubungan, menekankan dalam penelitiannya bahwa pasangan yang dapat mengakui perbedaan pandangan dan "sepakat untuk tidak sepakat" memiliki hubungan yang lebih sehat dan bertahan lama. Hal ini karena mereka memprioritaskan komunikasi yang menghormati kebutuhan masing-masing pihak.
8. Aspek Pendidikan
Dalam pendidikan, guru yang mengajar siswa untuk "sepakat untuk tidak sepakat" mengajarkan mereka keterampilan berpikir kritis dan analitis. Hal ini mendorong siswa untuk terbuka terhadap pandangan berbeda dan meningkatkan toleransi intelektual, yang penting dalam mengembangkan budaya diskusi yang produktif di kelas.
Paulo Freire, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, menekankan pentingnya dialog yang setara dalam pendidikan. Freire berpendapat bahwa siswa harus didorong untuk berpikir kritis dan mengemukakan pendapat yang berbeda tanpa takut dihakimi.
Kesimpulan
"sepakat untuk tidak sepakat" adalah sebuah konsep yang kaya dan relevan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini menekankan pentingnya menghargai perbedaan, menjaga harmoni, dan mendorong dialog yang produktif tanpa memaksakan kesepakatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H