Dengan adanya peraturan ini, kepolisian diharapkan dapat mengurangi jumlah perkara yang harus dibawa ke pengadilan jika sudah terselesaikan secara damai, adil, dan tuntas.
2. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan RestoratifÂ
Peraturan ini memberi wewenang kepada kejaksaan untuk menghentikan proses penuntutan dalam perkara pidana tertentu, asalkan telah tercapai kesepakatan antara pelaku dan korban serta memenuhi syarat-syarat RJ.
 Dengan menerapkan pendekatan ini, kejaksaan berupaya untuk mengembalikan situasi seperti semula tanpa harus membawa perkara tersebut ke ranah pengadilan. Peraturan ini mencerminkan upaya pemerintah dalam mengurangi beban peradilan dan memprioritaskan keadilan substantif.
Namun, kasus guru honorer ini menggambarkan bagaimana RJ dalam praktek dapat melenceng dari tujuan awalnya ketika ekonomi dan kekuasaan tidak seimbang. Permintaan kompensasi yang tinggi dalam proses RJ menjadi indikasi bahwa akses keadilan bagi kalangan ekonomi lemah seringkali terhambat.Â
Alhasil, RJ yang seharusnya menjadi alternatif solutif, malah berubah menjadi beban tambahan bagi pelaku.
Ketimpangan Ekonomi dalam Mencapai Keadilan
RJ pada kasus guru honorer ini seharusnya membantu menyelesaikan masalah tanpa membebani pihak yang lemah. Namun, adanya tuntutan finansial sebesar Rp50 juta membuat RJ beralih fungsi menjadi semacam "transaksi."Â
Keluarga korban mungkin berhak mendapatkan kompensasi, namun besarnya tuntutan, terutama untuk pelaku dari kalangan tak mampu, berpotensi menggerus rasa keadilan. RJ idealnya tidak memerlukan tuntutan yang membebani, terutama bila pelaku berasal dari kelompok ekonomi lemah.
Penangguhan Penahanan oleh Hakim
Dalam proses hukum yang akhirnya ditempuh, hakim memutuskan untuk menangguhkan penahanan guru honorer tersebut. Keputusan ini patut diapresiasi, karena penahanan pra-persidangan dapat berdampak negatif bagi pelaku, terutama bagi seorang pendidik yang memiliki latar belakang ekonomi terbatas.Â