Pendahuluan:
Karl Marx dikenal sebagai salah satu pemikir terpenting dalam sejarah filsafat dan ekonomi politik. Salah satu pernyataannya yang paling terkenal adalah bahwa "agama adalah candu masyarakat." Pernyataan ini sering kali dipahami sebagai serangan terhadap agama, namun jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya merupakan bagian dari kritik Marx yang lebih luas terhadap kapitalisme dan struktur sosial-ekonomi pada masanya. Marx hidup dalam dunia yang dilanda oleh perubahan besar akibat Revolusi Industri, di mana kelas pekerja dihadapkan pada eksploitasi yang masif sementara agama berfungsi sebagai alat yang membantu mempertahankan status quo.
Di sisi lain, pemikir kapitalisme klasik seperti Adam Smith memandang pasar bebas sebagai sistem yang, meski tidak sempurna, pada akhirnya akan menguntungkan semua orang melalui pertumbuhan ekonomi. Bagi Marx, pandangan ini naif, dan ia melihat agama sebagai bagian dari ideologi yang memperkuat struktur eksploitatif kapitalisme. Artikel ini akan mengurai bagaimana Marx menghubungkan agama dengan kapitalisme, mengkritik pemikiran Adam Smith, dan mengapa pandangan Marx tetap relevan di era modern.
1. Kondisi Sosial pada Masa Marx: Agama sebagai Penyejuk Rasa Sakit Sosial
Di masa Karl Marx, Revolusi Industri telah mengubah lanskap sosial Eropa secara drastis. Pabrik-pabrik besar muncul, mengandalkan tenaga kerja yang sering kali diperlakukan dengan buruk. Buruh bekerja dalam kondisi berbahaya, dengan upah yang minim dan jam kerja yang panjang. Ketimpangan sosial semakin mencolok, dengan segelintir elit kapitalis yang menikmati keuntungan besar sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan. Di tengah kondisi ini, agama memainkan peran penting sebagai penyejuk bagi penderitaan kelas pekerja.
Marx mengamati bagaimana agama membantu menenangkan kaum tertindas dengan menawarkan harapan akan kebahagiaan di akhirat. Dalam tulisannya A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right, Marx menyatakan bahwa "agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia tanpa hati, dan jiwa dari kondisi yang tidak berjiwa." Bagi Marx, agama berfungsi layaknya "candu" sesuatu yang menghilangkan rasa sakit sementara tetapi tidak mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan penderitaan.
Pandangan ini sangat relevan di berbagai negara yang masih menghadapi ketidakadilan sosial dan ekonomi hingga saat ini. Misalnya, laporan dari Pew Research Center (2019) menunjukkan bahwa di banyak negara miskin, religiositas masih sangat tinggi. Agama berfungsi sebagai penghibur bagi mereka yang hidup dalam kesulitan ekonomi, memperkuat pandangan Marx bahwa agama sering kali menjadi alat pelarian dari kenyataan yang menyakitkan.
Namun, kritik juga muncul terhadap pandangan ini. Sosiolog seperti Max Weber menunjukkan bahwa agama tidak selalu menjadi penghalang perubahan sosial. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menyoroti bagaimana etos kerja Protestan justru mendorong kapitalisme, dengan nilai-nilai seperti disiplin dan kerja keras yang menjadi motor penggerak bagi perkembangan ekonomi di negara-negara Barat. Ini menunjukkan bahwa agama, dalam beberapa konteks, tidak hanya menenangkan, tetapi juga memotivasi tindakan produktif.
2. Kritik terhadap Adam Smith: Kapitalisme dan Ideologi Agama
Salah satu aspek penting dari pemikiran Marx adalah kritiknya terhadap kapitalisme, yang ia lihat sebagai sistem eksploitatif. Pandangan ini bertentangan langsung dengan pemikiran Adam Smith, seorang ekonom klasik yang dianggap sebagai bapak kapitalisme. Dalam The Wealth of Nations (1776), Smith berargumen bahwa pasar bebas akan menguntungkan semua orang melalui mekanisme "tangan tak terlihat." Dalam pandangan Smith, individu yang mengejar kepentingan pribadi secara tidak langsung akan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Marx menentang pandangan ini dengan keras. Baginya, kapitalisme bukanlah sistem yang menguntungkan semua orang, melainkan sebuah sistem yang membagi masyarakat menjadi dua kelas utama: kapitalis dan pekerja. Kapitalis menguasai alat produksi dan memperoleh keuntungan dari eksploitasi tenaga kerja pekerja. Dalam Das Kapital, Marx menguraikan bagaimana kapitalisme menyebabkan alienasi, di mana para pekerja tidak memiliki kendali atas hasil kerja mereka sendiri dan hanya dianggap sebagai alat untuk menciptakan nilai bagi pemilik modal.
Dalam konteks ini, Marx melihat agama sebagai bagian dari ideologi kapitalis yang berfungsi untuk memperkuat ketidakadilan ini. Agama memberikan ilusi bahwa penderitaan di dunia ini hanyalah sementara, dan mereka yang menderita akan diberi penghargaan di akhirat. Marx percaya bahwa agama membantu mempertahankan sistem kapitalisme dengan mencegah kaum pekerja dari menyadari eksploitasi mereka dan memberontak. Inilah mengapa agama, bagi Marx, bukan hanya "candu," tetapi juga alat kontrol sosial yang efektif.
Pendapat Marx tentang hubungan antara agama dan kapitalisme tidak hanya mendapat kritik dari para pendukung kapitalisme, tetapi juga dari filsuf modern. Jrgen Habermas, misalnya, berpendapat bahwa agama dalam masyarakat sekuler modern tidak lagi sepenuhnya berperan sebagai alat penindasan. Dalam karya-karyanya, Habermas mengakui bahwa agama tetap memiliki nilai penting dalam wacana publik dan sebagai bagian dari identitas budaya. Ini menantang gagasan Marx bahwa agama akan sepenuhnya hilang ketika struktur kapitalis lenyap.
3. Apakah Marx Menyerukan Ateisme atau Kritik terhadap Struktur Sosial?
Salah satu kesalahpahaman umum tentang pandangan Marx adalah bahwa ia menyerukan ateisme sebagai tujuan utama. Meskipun Marx sangat kritis terhadap agama, ia sebenarnya tidak menyerukan penghapusan agama secara langsung, melainkan penghapusan kondisi sosial yang membuat agama menjadi perlu. Bagi Marx, agama adalah cerminan dari penderitaan manusia dalam masyarakat yang tidak adil, dan ketika kondisi sosial yang menindas ini diubah, agama akan secara alami memudar karena orang tidak lagi memerlukan ilusi untuk mengatasi penderitaan mereka.
Ini berbeda dengan ateisme dogmatis yang menuntut penghapusan agama secara paksa. Marx lebih tertarik pada transformasi sosial yang mendalam, di mana manusia bisa hidup tanpa penindasan ekonomi dan sosial. Dalam kondisi seperti itu, menurut Marx, kebutuhan akan agama akan hilang dengan sendirinya. Oleh karena itu, Marx tidak fokus pada penghapusan agama itu sendiri, tetapi pada mengubah struktur kapitalisme yang eksploitatif.
Ahli filsafat politik Slavoj iek mendukung interpretasi ini, menyatakan bahwa kritik Marx terhadap agama bukanlah panggilan untuk menghilangkan agama melalui represi, tetapi melalui penciptaan masyarakat yang lebih adil. iek menganggap bahwa agama dalam konteks modern bisa memainkan peran kritis, tetapi ketika masyarakat mencapai emansipasi penuh, agama tidak lagi diperlukan sebagai pelarian dari realitas yang keras.
Kesimpulan:
Pandangan Karl Marx tentang agama sebagai "candu masyarakat" berakar dalam kritiknya terhadap kapitalisme dan struktur sosial pada masanya. Agama, bagi Marx, bukan hanya masalah spiritual tetapi juga ideologis alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan ketidakadilan sosial dan ekonomi. Namun, pandangan ini tidak hanya menempatkan Marx sebagai seorang ateis radikal yang menolak semua bentuk agama, melainkan sebagai seorang pemikir yang menginginkan perubahan struktur sosial yang mendalam. Melalui transformasi material dan sosial, Marx percaya bahwa agama tidak lagi akan diperlukan sebagai penghibur dari penderitaan yang disebabkan oleh eksploitasi kapitalis. Pandangan Marx ini tetap relevan dalam diskusi modern tentang hubungan antara agama, kapitalisme, dan keadilan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H