Prolegnas) merupakan sebuah instrumen penting dalam penyusunan regulasi di Indonesia. Setiap tahunnya, pemerintah dan DPR bersama-sama menyusun daftar prioritas rancangan undang-undang (RUU) yang diharapkan dapat menjawab berbagai masalah di tengah masyarakat. Namun, meskipun biaya besar telah dikeluarkan, sering kali hasilnya justru mengecewakan. Berbagai peraturan yang lahir melalui Prolegnas tak jarang terjebak dalam masalah tambal sulam dan revisi berulang, sementara efektivitasnya terus dipertanyakan. Apakah Prolegnas benar-benar mampu menjadi jawaban atas kompleksitas permasalahan regulasi di Indonesia? Atau justru memperburuk keadaan?
Program Legislasi Nasional (1. Kepentingan Politik yang Mendominasi Proses Legislasi
Dalam setiap tahapan penyusunan Prolegnas, kepentingan politik selalu memainkan peran besar. Banyak regulasi yang lahir dari Prolegnas cenderung lebih mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok elit, seperti partai politik dan pelaku bisnis besar. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Bivitri Susanti, pengamat hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, yang menilai bahwa undang-undang yang dibentuk sering kali tidak berdasarkan kepentingan publik secara luas, melainkan hanya untuk melayani agenda politik tertentu.
Contoh kasus yang mencolok adalah Omnibus Law Cipta Kerja. Meskipun diklaim sebagai solusi untuk menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki iklim investasi, banyak pihak berpendapat bahwa undang-undang tersebut lebih menguntungkan pengusaha besar daripada pekerja kecil dan masyarakat. Penolakan masif dari berbagai elemen masyarakat menunjukkan bahwa Prolegnas sering kali tidak melibatkan kepentingan rakyat dalam proses pembuatannya.
2. Kurangnya Kajian Mendalam dan Dampaknya pada Regulasi
Prolegnas kerap kali menghasilkan undang-undang yang disusun secara tergesa-gesa tanpa kajian yang mendalam. Salah satu kritikan keras datang dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, yang mengatakan bahwa proses legislasi di Indonesia sering kali hanya formalitas dan mengabaikan kualitas substansi. Kajian akademis yang mendalam, analisis dampak, serta diskusi dengan pihak-pihak terkait sering kali diabaikan atau dilakukan secara minimal.
Sebagai contoh, RUU Minerba yang disahkan pada tahun 2020 menimbulkan banyak polemik. Undang-undang tersebut dianggap menguntungkan pengusaha tambang dengan memberikan kemudahan izin, sementara dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat adat kurang diperhatikan. Ini menunjukkan bahwa tanpa kajian yang komprehensif, regulasi yang dihasilkan justru lebih banyak menimbulkan masalah baru daripada menyelesaikan masalah yang ada.
3. Pendekatan Tambal Sulam yang Tidak Efektif
Salah satu karakteristik dari regulasi di Indonesia adalah pendekatan tambal sulam. Alih-alih menyusun undang-undang yang benar-benar baru dan komprehensif, banyak aturan diubah hanya pada aspek-aspek tertentu. Akibatnya, aturan-aturan tersebut tidak terintegrasi dengan baik dan sering kali saling tumpang tindih.
Misalnya, revisi UU KPK pada tahun 2019 menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan tambal sulam bisa merusak lembaga yang selama ini dianggap kuat. Perubahan pada beberapa pasal saja cukup untuk melemahkan posisi dan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi, sebuah lembaga yang diandalkan dalam memerangi korupsi di Indonesia.
Menurut Yenti Garnasih, pakar hukum pidana, pendekatan tambal sulam dalam legislasi Indonesia justru memperumit proses hukum dan menurunkan kualitas penegakan hukum. Perubahan-perubahan kecil yang dilakukan berulang kali sering kali menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, sehingga membuat penegak hukum di lapangan kebingungan.
4. Kurangnya Pengawasan dan Evaluasi Setelah Regulasi Disahkan
Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh Prolegnas adalah minimnya pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan undang-undang yang telah disahkan. Meskipun suatu undang-undang telah diresmikan, tanpa pengawasan yang ketat, penerapannya di lapangan sering kali tidak berjalan sesuai dengan tujuan awal.
Dalam banyak kasus, pelaksanaan undang-undang di Indonesia sangat bergantung pada kapasitas aparat penegak hukum. Namun, banyak undang-undang yang dibuat tanpa memadai infrastruktur atau sumber daya untuk memastikan penerapannya yang efektif. Sebagai contoh, setelah disahkannya UU Desa pada 2014, banyak desa yang kesulitan dalam mengimplementasikan program-program yang diamanatkan karena minimnya dukungan teknis dan finansial dari pemerintah pusat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, pengawasan yang lemah adalah salah satu akar masalah dari tidak efektifnya regulasi di Indonesia. Undang-undang yang bagus sekalipun akan menjadi tidak berguna jika tidak ada pengawasan yang efektif dan evaluasi secara berkala.
5. Tingginya Biaya yang Tidak Efektif
Program legislasi tidak murah. Setiap tahapan, mulai dari perancangan, pembahasan, hingga sosialisasi membutuhkan anggaran besar. Dalam Prolegnas 2020, misalnya, pemerintah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp 50 miliar hanya untuk mendukung penyusunan RUU. Namun, biaya besar ini tidak selalu sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Banyak pihak mengkritik bahwa dana yang dikeluarkan sering kali tidak digunakan secara efektif. Dr. Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, mengungkapkan bahwa pengeluaran besar ini sering kali digunakan untuk hal-hal administratif seperti studi banding yang tidak memiliki dampak nyata pada kualitas legislasi. Menurutnya, lebih baik biaya tersebut dialokasikan untuk memperkuat riset dan kajian akademik yang dapat memperbaiki kualitas regulasi yang dihasilkan.
6. Perubahan Kebijakan yang Terlalu Cepat
Di Indonesia, peraturan yang baru dibuat sering kali sudah berubah dalam waktu yang singkat, sehingga pelaksanaannya di lapangan menjadi tidak optimal. Dalam beberapa kasus, undang-undang yang baru diterapkan belum sempat memberikan dampak karena sudah diganti dengan aturan baru.
Sebagai contoh, Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengalami banyak protes dan uji materi sejak disahkan. Ketidakstabilan dalam regulasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ekonomi, yang pada gilirannya membuat investasi serta dunia usaha terhambat. Para pelaku usaha merasa bingung dengan perubahan kebijakan yang cepat dan tidak konsisten.
Prolegnas, meskipun bertujuan untuk menciptakan regulasi yang lebih baik dan menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia, sering kali malah memperparah keadaan. Kepentingan politik, kajian yang dangkal, pendekatan tambal sulam, kurangnya pengawasan, serta pengeluaran yang tidak efektif adalah beberapa masalah utama yang harus segera diperbaiki. Perbaikan dalam kualitas legislasi memerlukan komitmen serius dari pemerintah, DPR, serta seluruh elemen masyarakat. Tanpa perubahan mendasar, Prolegnas akan terus menjadi beban, bukan solusi, bagi sistem hukum Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H