4. Kurangnya Pengawasan dan Evaluasi Setelah Regulasi Disahkan
Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh Prolegnas adalah minimnya pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan undang-undang yang telah disahkan. Meskipun suatu undang-undang telah diresmikan, tanpa pengawasan yang ketat, penerapannya di lapangan sering kali tidak berjalan sesuai dengan tujuan awal.
Dalam banyak kasus, pelaksanaan undang-undang di Indonesia sangat bergantung pada kapasitas aparat penegak hukum. Namun, banyak undang-undang yang dibuat tanpa memadai infrastruktur atau sumber daya untuk memastikan penerapannya yang efektif. Sebagai contoh, setelah disahkannya UU Desa pada 2014, banyak desa yang kesulitan dalam mengimplementasikan program-program yang diamanatkan karena minimnya dukungan teknis dan finansial dari pemerintah pusat.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, pengawasan yang lemah adalah salah satu akar masalah dari tidak efektifnya regulasi di Indonesia. Undang-undang yang bagus sekalipun akan menjadi tidak berguna jika tidak ada pengawasan yang efektif dan evaluasi secara berkala.
5. Tingginya Biaya yang Tidak Efektif
Program legislasi tidak murah. Setiap tahapan, mulai dari perancangan, pembahasan, hingga sosialisasi membutuhkan anggaran besar. Dalam Prolegnas 2020, misalnya, pemerintah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp 50 miliar hanya untuk mendukung penyusunan RUU. Namun, biaya besar ini tidak selalu sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Banyak pihak mengkritik bahwa dana yang dikeluarkan sering kali tidak digunakan secara efektif. Dr. Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, mengungkapkan bahwa pengeluaran besar ini sering kali digunakan untuk hal-hal administratif seperti studi banding yang tidak memiliki dampak nyata pada kualitas legislasi. Menurutnya, lebih baik biaya tersebut dialokasikan untuk memperkuat riset dan kajian akademik yang dapat memperbaiki kualitas regulasi yang dihasilkan.
6. Perubahan Kebijakan yang Terlalu Cepat
Di Indonesia, peraturan yang baru dibuat sering kali sudah berubah dalam waktu yang singkat, sehingga pelaksanaannya di lapangan menjadi tidak optimal. Dalam beberapa kasus, undang-undang yang baru diterapkan belum sempat memberikan dampak karena sudah diganti dengan aturan baru.
Sebagai contoh, Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengalami banyak protes dan uji materi sejak disahkan. Ketidakstabilan dalam regulasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ekonomi, yang pada gilirannya membuat investasi serta dunia usaha terhambat. Para pelaku usaha merasa bingung dengan perubahan kebijakan yang cepat dan tidak konsisten.
Prolegnas, meskipun bertujuan untuk menciptakan regulasi yang lebih baik dan menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia, sering kali malah memperparah keadaan. Kepentingan politik, kajian yang dangkal, pendekatan tambal sulam, kurangnya pengawasan, serta pengeluaran yang tidak efektif adalah beberapa masalah utama yang harus segera diperbaiki. Perbaikan dalam kualitas legislasi memerlukan komitmen serius dari pemerintah, DPR, serta seluruh elemen masyarakat. Tanpa perubahan mendasar, Prolegnas akan terus menjadi beban, bukan solusi, bagi sistem hukum Indonesia.