Kompensasi Lahan kepada Masyarakat Adat untuk Investasi Bukan Cara Bijak Mensejahterakan Rakyat
Kompensasi lahan kepada masyarakat adat sering kali menjadi pendekatan utama dalam proyek investasi besar, seperti pertambangan, perkebunan sawit, atau infrastruktur. Pemerintah dan perusahaan biasanya beranggapan bahwa dengan memberikan uang atau kompensasi finansial, permasalahan terkait perampasan tanah adat selesai. Namun, pendekatan ini mengabaikan banyak aspek penting dalam kehidupan masyarakat adat dan berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di masa depan.
1. Makna Tanah bagi Masyarakat Adat: Lebih dari Sekadar Komoditas
Bagi masyarakat adat, tanah memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar sumber daya ekonomi. Tanah adalah pusat dari identitas, spiritualitas, dan budaya mereka. Pemisahan dari tanah sering kali berarti pemisahan dari leluhur, dari upacara adat, dan dari hak hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Ketika tanah diambil alih untuk investasi, masyarakat adat tidak hanya kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian, tetapi juga kehilangan warisan budaya mereka.
2. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP)
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, UNDRIP), yang diadopsi pada tahun 2007, menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, termasuk hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam mereka. Deklarasi ini juga menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memberikan Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebelum proyek atau aktivitas pembangunan dilakukan di tanah mereka.
Dalam konteks ini, memberikan kompensasi tanpa mempertimbangkan hak-hak adat yang diatur dalam UNDRIP melanggar prinsip keadilan internasional. FPIC mewajibkan pemerintah dan perusahaan untuk berkonsultasi secara penuh dengan masyarakat adat dan memastikan persetujuan mereka sebelum memulai proyek. Artinya, masyarakat adat berhak menolak atau menerima investasi setelah melalui proses yang transparan dan terinformasi.
3. Kerusakan yang Tak Terpulihkan
Proyek-proyek investasi yang mengambil alih tanah adat, meski dengan kompensasi finansial, sering kali meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan. Deforestasi akibat ekspansi perkebunan sawit, pencemaran air dan tanah akibat tambang, serta hilangnya keanekaragaman hayati adalah beberapa contoh dampak negatif yang sering dialami masyarakat adat setelah tanah mereka diambil. Data menunjukkan bahwa lebih dari 25% deforestasi global diakibatkan oleh pertanian komersial dan industri ekstraktif, dengan Indonesia sebagai salah satu wilayah yang paling terdampak.
Di Indonesia, terdapat berbagai kasus di mana masyarakat adat menerima kompensasi lahan, tetapi setelah itu, mereka justru menghadapi kemiskinan yang lebih mendalam. Mereka kehilangan akses ke sumber daya alam yang telah menopang kehidupan mereka selama ratusan tahun. Misalnya, di Kalimantan, komunitas Dayak kehilangan hutan mereka akibat ekspansi perkebunan sawit, dan meski menerima uang, mereka kesulitan mempertahankan gaya hidup mereka yang berpusat pada hutan.
4. Ganti Rugi Tidak Bisa Menggantikan Kehidupan
Banyak ahli dan pakar dari berbagai disiplin ilmu telah menunjukkan bahwa pendekatan kompensasi finansial terhadap masyarakat adat tidak pernah memadai untuk menggantikan dampak kehilangan tanah mereka. Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya sumber ekonomi, tetapi pusat dari kehidupan sosial, budaya, dan spiritual mereka. Ketika tanah adat diambil dan digantikan dengan uang, konsekuensi yang muncul sering kali jauh lebih dalam dan kompleks daripada yang bisa diselesaikan dengan sekadar transaksi finansial.
a. Tanah Sebagai Pusat Identitas Budaya dan Spiritual
Ahli antropologi, seperti Profesor Rodolfo Stavenhagen, telah lama menyoroti bahwa tanah bagi masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan barang dagangan. Dalam banyak budaya adat di Indonesia dan di seluruh dunia, tanah memiliki nilai spiritual yang mendalam. Tanah adalah tempat suci di mana leluhur dimakamkan, tempat dilaksanakannya upacara-upacara adat, serta sumber inspirasi untuk mitos, cerita, dan tradisi budaya. Dengan hilangnya tanah adat, masyarakat kehilangan sebagian besar identitas kolektif mereka.
Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat pada masyarakat Dayak di Kalimantan, yang memiliki hubungan erat dengan hutan sebagai pusat kehidupan mereka. Saat hutan yang menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan spiritualitas mereka dihancurkan untuk membuka perkebunan sawit, kompensasi finansial yang diberikan tidak bisa menggantikan kehilangan tersebut. Secara spiritual, mereka merasa terputus dari warisan leluhur dan kehilangan tempat di mana mereka bisa menjalankan ritual-ritual adat yang telah diwariskan turun-temurun.
b. Kerugian Sosial dan Ekonomi Jangka Panjang
Secara ekonomi, ganti rugi berupa uang sering kali hanya memberikan solusi sementara. Ahli sosiologi dan pembangunan, seperti Prof. James C. Scott, telah menjelaskan bahwa masyarakat adat yang menerima kompensasi lahan dalam bentuk uang tunai umumnya mengalami penurunan kondisi ekonomi dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh hilangnya akses terhadap sumber daya alam yang selama ini menjadi basis ekonomi subsisten mereka, seperti hutan untuk berburu, lahan untuk bertani, dan sungai untuk menangkap ikan.
Sebagai contoh, ketika masyarakat adat di Papua menerima kompensasi untuk tanah yang digunakan oleh perusahaan tambang, mereka mungkin mendapatkan sejumlah uang dalam jangka pendek. Namun, setelah uang tersebut habis, mereka sering kali tidak memiliki sumber daya alam untuk kembali mendukung hidup mereka. Tidak adanya keterampilan untuk berpartisipasi dalam ekonomi modern, serta hilangnya hutan yang menjadi sumber penghidupan utama, membuat mereka rentan terhadap kemiskinan dan ketergantungan pada bantuan eksternal.
Menurut penelitian dari World Bank, hilangnya sumber daya alam bagi masyarakat adat akibat proyek investasi juga meningkatkan kerentanan terhadap eksploitasi ekonomi dan sosial. Ketika mereka kehilangan tanah, mereka juga kehilangan kontrol terhadap kehidupan mereka sendiri, yang menyebabkan marginalisasi lebih lanjut dalam masyarakat modern. Alih-alih menjadi sejahtera, mereka sering kali terpinggirkan dan mengalami kesulitan beradaptasi dengan model ekonomi kapitalis yang tidak sesuai dengan budaya mereka.
c. Â Pembangunan Berkelanjutan dan Hak Asasi
Dalam ranah hukum lingkungan, Profesor Nico Schrijver, ahli terkemuka dalam hak-hak lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, menyatakan bahwa pendekatan berbasis kompensasi sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan. Menurut Schrijver, pembangunan yang didasarkan pada eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem dan masyarakat lokal adalah bentuk "pembangunan yang merusak." Ia menekankan bahwa ganti rugi finansial tidak dapat memperbaiki kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan, seperti pencemaran air dan tanah akibat tambang atau deforestasi besar-besaran untuk perkebunan.
Salah satu contoh konkret dari perspektif ini dapat dilihat pada dampak pertambangan emas dan tembaga di Grasberg, Papua. Walaupun masyarakat adat menerima kompensasi finansial, operasi tambang tersebut telah menyebabkan pencemaran sungai dan tanah, yang menghancurkan ekosistem lokal dan mengancam kesehatan penduduk setempat. Dalam hal ini, uang kompensasi tidak mampu mengembalikan ekosistem yang rusak atau menyediakan sumber air bersih yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
Menurut pandangan Schrijver dan banyak pakar hukum lingkungan lainnya, solusi yang lebih adil adalah memastikan bahwa investasi dilakukan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berbasis hak asasi manusia. Ini berarti proyek-proyek investasi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, serta melibatkan masyarakat adat secara penuh dalam proses pengambilan keputusan.
d. Kerentanan Terhadap Ketergantungan Ekonomi
Ahli antropologi ekonomi, seperti Prof. Karl Polanyi, berpendapat bahwa masyarakat yang terintegrasi secara mendalam dengan alam tidak dapat begitu saja dipaksa masuk ke dalam sistem ekonomi pasar tanpa konsekuensi serius. Polanyi menunjukkan bahwa ketika masyarakat adat dipisahkan dari tanah mereka dan menerima kompensasi finansial, mereka sering kali tidak siap untuk berpartisipasi dalam ekonomi kapitalis yang sangat kompetitif. Akibatnya, mereka menjadi rentan terhadap kemiskinan, ketergantungan, dan eksploitasi ekonomi lebih lanjut.
Di Indonesia, hal ini sering terjadi pada masyarakat adat yang dipaksa untuk pindah ke daerah-daerah urban atau semi-urban setelah tanah mereka diambil alih untuk investasi. Mereka tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di sektor-sektor ekonomi formal, sehingga terjebak dalam pekerjaan upah rendah atau bahkan pengangguran. Ketergantungan pada bantuan pemerintah atau perusahaan tambang juga menciptakan hubungan yang tidak seimbang, di mana masyarakat adat menjadi sangat rentan terhadap kontrol eksternal.
Kesimpulan
Memberikan kompensasi lahan kepada masyarakat adat untuk investasi mungkin tampak sebagai solusi praktis bagi pemerintah dan perusahaan, tetapi pendekatan ini jauh dari bijaksana. Kompensasi finansial saja tidak mampu menyelesaikan persoalan yang kompleks terkait identitas, budaya, hak asasi, dan keberlanjutan lingkungan. Pendekatan yang lebih bijak adalah memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui sepenuhnya, seperti yang dijamin dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), dan bahwa proses pengambilan keputusan melibatkan mereka secara penuh.
Masyarakat adat harus diberikan hak untuk menentukan sendiri masa depan tanah mereka, dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan lingkungan. Pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis hak asasi manusia, bukan eksploitasi dan ganti rugi finansial semata, adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa investasi benar-benar membawa manfaat bagi semua pihak, termasuk masyarakat adat yang telah menjaga tanah mereka selama berabad-abad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H