Banyak ahli dan pakar dari berbagai disiplin ilmu telah menunjukkan bahwa pendekatan kompensasi finansial terhadap masyarakat adat tidak pernah memadai untuk menggantikan dampak kehilangan tanah mereka. Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya sumber ekonomi, tetapi pusat dari kehidupan sosial, budaya, dan spiritual mereka. Ketika tanah adat diambil dan digantikan dengan uang, konsekuensi yang muncul sering kali jauh lebih dalam dan kompleks daripada yang bisa diselesaikan dengan sekadar transaksi finansial.
a. Tanah Sebagai Pusat Identitas Budaya dan Spiritual
Ahli antropologi, seperti Profesor Rodolfo Stavenhagen, telah lama menyoroti bahwa tanah bagi masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan barang dagangan. Dalam banyak budaya adat di Indonesia dan di seluruh dunia, tanah memiliki nilai spiritual yang mendalam. Tanah adalah tempat suci di mana leluhur dimakamkan, tempat dilaksanakannya upacara-upacara adat, serta sumber inspirasi untuk mitos, cerita, dan tradisi budaya. Dengan hilangnya tanah adat, masyarakat kehilangan sebagian besar identitas kolektif mereka.
Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat pada masyarakat Dayak di Kalimantan, yang memiliki hubungan erat dengan hutan sebagai pusat kehidupan mereka. Saat hutan yang menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan spiritualitas mereka dihancurkan untuk membuka perkebunan sawit, kompensasi finansial yang diberikan tidak bisa menggantikan kehilangan tersebut. Secara spiritual, mereka merasa terputus dari warisan leluhur dan kehilangan tempat di mana mereka bisa menjalankan ritual-ritual adat yang telah diwariskan turun-temurun.
b. Kerugian Sosial dan Ekonomi Jangka Panjang
Secara ekonomi, ganti rugi berupa uang sering kali hanya memberikan solusi sementara. Ahli sosiologi dan pembangunan, seperti Prof. James C. Scott, telah menjelaskan bahwa masyarakat adat yang menerima kompensasi lahan dalam bentuk uang tunai umumnya mengalami penurunan kondisi ekonomi dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh hilangnya akses terhadap sumber daya alam yang selama ini menjadi basis ekonomi subsisten mereka, seperti hutan untuk berburu, lahan untuk bertani, dan sungai untuk menangkap ikan.
Sebagai contoh, ketika masyarakat adat di Papua menerima kompensasi untuk tanah yang digunakan oleh perusahaan tambang, mereka mungkin mendapatkan sejumlah uang dalam jangka pendek. Namun, setelah uang tersebut habis, mereka sering kali tidak memiliki sumber daya alam untuk kembali mendukung hidup mereka. Tidak adanya keterampilan untuk berpartisipasi dalam ekonomi modern, serta hilangnya hutan yang menjadi sumber penghidupan utama, membuat mereka rentan terhadap kemiskinan dan ketergantungan pada bantuan eksternal.
Menurut penelitian dari World Bank, hilangnya sumber daya alam bagi masyarakat adat akibat proyek investasi juga meningkatkan kerentanan terhadap eksploitasi ekonomi dan sosial. Ketika mereka kehilangan tanah, mereka juga kehilangan kontrol terhadap kehidupan mereka sendiri, yang menyebabkan marginalisasi lebih lanjut dalam masyarakat modern. Alih-alih menjadi sejahtera, mereka sering kali terpinggirkan dan mengalami kesulitan beradaptasi dengan model ekonomi kapitalis yang tidak sesuai dengan budaya mereka.
c. Â Pembangunan Berkelanjutan dan Hak Asasi
Dalam ranah hukum lingkungan, Profesor Nico Schrijver, ahli terkemuka dalam hak-hak lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, menyatakan bahwa pendekatan berbasis kompensasi sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan. Menurut Schrijver, pembangunan yang didasarkan pada eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem dan masyarakat lokal adalah bentuk "pembangunan yang merusak." Ia menekankan bahwa ganti rugi finansial tidak dapat memperbaiki kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan, seperti pencemaran air dan tanah akibat tambang atau deforestasi besar-besaran untuk perkebunan.
Salah satu contoh konkret dari perspektif ini dapat dilihat pada dampak pertambangan emas dan tembaga di Grasberg, Papua. Walaupun masyarakat adat menerima kompensasi finansial, operasi tambang tersebut telah menyebabkan pencemaran sungai dan tanah, yang menghancurkan ekosistem lokal dan mengancam kesehatan penduduk setempat. Dalam hal ini, uang kompensasi tidak mampu mengembalikan ekosistem yang rusak atau menyediakan sumber air bersih yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.