Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Hakim Main Sendiri maka Rakyat Main Hakim Sendiri. Oleh : Rudi Sinaba

5 Oktober 2024   12:19 Diperbarui: 5 Oktober 2024   14:17 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Hakim Main Sendiri, Maka Rakyat Main Hakim Sendiri: Sebab-Akibat dalam Krisis Hukum dan Keadilan

Dalam negara hukum, hakim memiliki peran penting sebagai penjaga keadilan. Namun, ketika hakim menyalahgunakan kewenangan atau bertindak tidak adil, dampaknya bisa sangat luas. Salah satu konsekuensinya adalah munculnya fenomena main hakim sendiri di kalangan rakyat. Ketika sistem hukum yang seharusnya memberikan keadilan justru rusak, masyarakat cenderung mencari "keadilan" dengan cara mereka sendiri. Ini menciptakan lingkaran sebab-akibat yang kompleks, di mana penyimpangan oleh hakim memicu penyimpangan yang lebih besar di masyarakat.

Hakim Main Sendiri: Awal Mula Penyimpangan Hukum

Fenomena "hakim main sendiri" terjadi ketika seorang hakim menyalahgunakan kekuasaan atau melanggar prinsip-prinsip hukum yang semestinya ia tegakkan. Hakim yang seharusnya menjalankan peradilan dengan objektivitas dan keadilan, justru melakukan tindakan tidak adil seperti menerima suap, memutuskan perkara dengan bias, atau bertindak di luar batas kewenangannya.

Menurut ahli hukum Prof. Satjipto Rahardjo, keadilan dalam praktik hukum tidak hanya ditentukan oleh aturan tertulis, tetapi juga oleh integritas dan moralitas hakim. Ketika hakim gagal dalam dua aspek ini, keadilan tidak lagi hadir di ruang sidang, melainkan berubah menjadi alat untuk melayani kepentingan pribadi atau politik. Hakim yang bermain di luar batas hukum pada dasarnya menghancurkan fondasi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

Penyebab Hakim Main Sendiri:

Korupsi dan Tekanan Politik: Godaan materi dalam bentuk suap atau tekanan politik bisa menjadi penyebab utama seorang hakim menyalahgunakan wewenangnya. Dalam banyak kasus, hakim menerima imbalan untuk memutuskan perkara secara tidak adil atau demi kepentingan pihak tertentu.

Minimnya Pengawasan: Kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif terhadap kinerja hakim memberi ruang bagi mereka untuk bertindak sewenang-wenang. Tanpa pengawasan ketat, banyak penyimpangan yang tidak terungkap atau dibiarkan begitu saja.

Kelemahan Etika dan Moral: Seorang hakim yang tidak memiliki integritas moral akan lebih mudah tergoda untuk menyimpang dari aturan. Dalam hal ini, pelanggaran kode etik menjadi penyebab utama t erjadinya fenomena "hakim main sendiri."

Rakyat Main Hakim Sendiri Sebagai Reaksi terhadap Ketidakadilan

Ketika hakim yang diharapkan menjadi benteng terakhir keadilan gagal menjalankan tugasnya, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum. Hilangnya kepercayaan ini memicu perilaku main hakim sendiri, di mana individu atau kelompok masyarakat mengambil tindakan hukum ke tangan mereka sendiri. Masyarakat yang merasa hukum tidak dapat diandalkan cenderung menciptakan "keadilan" versi mereka sendiri, tanpa melalui prosedur hukum yang sah.

Thomas Hobbes, seorang filsuf politik, menggambarkan kondisi ini sebagai keadaan "anarki" atau state of nature, di mana hukum yang rusak akan membawa masyarakat pada konflik dan kekacauan. Tanpa adanya keadilan yang ditegakkan oleh negara melalui lembaga hukumnya, masyarakat kembali pada naluri dasar untuk bertahan hidup dan menuntut keadilan melalui kekerasan atau tindakan sepihak.

Penyebab Main Hakim Sendiri:

Ketidakpercayaan pada Sistem Hukum: Ketika rakyat melihat bahwa hakim tidak adil atau sistem peradilan penuh dengan korupsi, mereka kehilangan kepercayaan pada proses hukum formal. Akibatnya, mereka merasa perlu mengambil tindakan sendiri.

Kesenjangan Sosial dan Ekonomi: Dalam masyarakat yang mengalami kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi, ketidakadilan sering dirasakan lebih nyata. Mereka yang merasa termarginalisasi atau tidak mendapat akses pada keadilan akan lebih mudah tergoda untuk main hakim sendiri.

Ketidaksabaran Terhadap Proses Hukum: Proses hukum yang lamban seringkali membuat masyarakat merasa frustasi. Ketika keadilan dirasa sulit didapatkan melalui jalur hukum, main hakim sendiri muncul sebagai alternatif untuk "mempercepat" proses keadilan.

 Lingkaran Setan yang Harus Diputuskan

Fenomena hakim main sendiri dan rakyat main hakim sendiri tidak berdiri sendiri. Keduanya saling terkait dalam hubungan sebab-akibat yang merusak tatanan hukum dan keadilan. Hakim yang bertindak tidak adil menciptakan ketidakpercayaan yang mendorong masyarakat untuk bertindak di luar hukum. Pada saat yang sama, maraknya tindakan main hakim sendiri justru memperburuk citra peradilan, menciptakan lingkaran setan di mana kedua belah pihak sama-sama terjebak dalam ketidakadilan.

Dampak pada Masyarakat dan Negara:

Erosi Kepercayaan Publik: Ketika hakim menyalahgunakan kekuasaan, masyarakat tidak lagi percaya pada pengadilan sebagai institusi yang bisa menegakkan keadilan. Hal ini mendorong tindakan anarkis, merusak stabilitas sosial, dan memperkuat sikap anti-hukum di kalangan masyarakat.

Peningkatan Kekerasan: Main hakim sendiri seringkali berujung pada tindakan kekerasan yang tidak proporsional, baik terhadap pelaku yang sebenarnya bersalah maupun yang tidak bersalah. Ini menciptakan siklus kekerasan yang sulit dihentikan.

Kehancuran Sistem Hukum: Ketika perilaku hakim yang menyimpang terus dibiarkan, sistem hukum negara tersebut akan mengalami degradasi. Kehancuran integritas peradilan pada akhirnya berujung pada runtuhnya supremasi hukum (rule of law), di mana hukum tidak lagi dihormati atau dipatuhi.

Solusi untuk Memutus Lingkaran Setan

Ahli hukum dan filsafat telah lama membahas tentang pentingnya memperbaiki integritas hukum demi mencegah fenomena main hakim sendiri. Immanuel Kant, dalam pandangannya tentang hukum dan keadilan, menegaskan bahwa hukum yang baik harus bersifat universal dan diikuti oleh semua orang, termasuk hakim itu sendiri. Ketika hukum tidak lagi bersifat universal karena penyimpangan hakim, maka tatanan moral dalam masyarakat akan terguncang.

Dari perspektif hukum, Prof. Mahfud MD berpendapat bahwa reformasi di bidang peradilan menjadi kunci utama untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Transparansi dalam proses peradilan, penegakan kode etik yang tegas bagi hakim, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap perilaku hakim merupakan langkah awal yang harus diambil. Selain itu, pendidikan hukum bagi masyarakat juga penting untuk mencegah mereka melakukan tindakan di luar jalur hukum formal. 

Membangun Kembali Kepercayaan pada Keadilan

Untuk memutus siklus penyimpangan yang saling terkait ini, diperlukan solusi yang komprehensif:

Reformasi Peradilan: Penegakan kode etik bagi hakim dan pengawasan ketat harus dijadikan prioritas. Hakim yang terbukti menyalahgunakan kekuasaan harus dihukum secara tegas agar menjadi contoh bagi yang lain.

Edukasi Publik: Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang pentingnya mengikuti proses hukum formal. Kampanye pendidikan hukum di berbagai lapisan masyarakat harus digalakkan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri.

Pemulihan Keadilan Sosial: Ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi harus diatasi untuk mencegah munculnya frustrasi yang memicu main hakim sendiri. Pemerintah harus berperan aktif dalam menciptakan kebijakan yang adil dan merata bagi seluruh warga negara.

Kesimpulan

Fenomena hakim main sendiri dan rakyat main hakim sendiri adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya saling mempengaruhi dan memperkuat siklus ketidakadilan di masyarakat. Ketika hakim bertindak di luar batas hukum, masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan, yang kemudian mendorong mereka untuk mencari keadilan dengan cara sendiri. Untuk memutus siklus ini, reformasi peradilan yang tegas dan pemulihan keadilan sosial harus dilakukan secara bersamaan. Hanya dengan begitu, kepercayaan pada hukum dan keadilan dapat dibangun kembali, dan masyarakat dapat hidup dalam tatanan hukum yang benar-benar melindungi hak-hak semua orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun