Dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, berbagai negara, termasuk Indonesia, sering kali berfokus pada investasi skala besar yang dianggap sebagai kunci untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran nasional. Proyek-proyek Strategis Nasional (PSN) seperti pembangunan infrastruktur, tambang, dan kawasan industri sering kali digadang-gadang sebagai solusi untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Namun, di balik gencarnya promosi investasi, terdapat fenomena yang kerap terulang: perlawanan dari masyarakat lokal yang merasa hak-hak mereka diabaikan atau dikorbankan.
Proyek-proyek besar ini tidak jarang menghadapi penolakan dari masyarakat yang terancam kehilangan tanah, sumber mata pencaharian, dan ruang hidup mereka. Alih-alih mengakomodasi kekhawatiran masyarakat, pemerintah terkadang merespons dengan tindakan represif demi menjaga "kepentingan nasional". Investasi yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat luas justru sering kali menciptakan ketegangan antara negara dan warga.
Pragmatisme dalam Kebijakan Investasi
Investasi dalam proyek infrastruktur besar tentu saja memiliki manfaat signifikan bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Penambahan fasilitas transportasi, kawasan industri, hingga pembangkit listrik adalah elemen-elemen yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan. Di sinilah pragmatisme muncul, di mana pemerintah dan pelaku investasi sering kali memandang proyek-proyek ini sebagai solusi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas nasional dan menarik lebih banyak investor asing.
Namun, pragmatisme ini sering kali mengorbankan masyarakat yang berada di garis depan proyek. Kebijakan relokasi, penggusuran, dan perampasan tanah demi pembangunan kawasan industri, tambang, atau infrastruktur sering kali dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dengan warga terdampak. Hak-hak masyarakat lokal sering kali diabaikan dalam perhitungan keuntungan ekonomi jangka panjang, seolah-olah kemajuan nasional lebih penting daripada kesejahteraan warga di sekitar proyek.
Korupsi dalam Proses Investasi
Selain dampak sosial yang signifikan, fenomena lain yang kerap menyertai proyek-proyek investasi di Indonesia adalah praktik korupsi. Sejak proses perencanaan hingga implementasi, korupsi menjadi tantangan yang kerap melemahkan efektivitas serta tujuan dari proyek-proyek ini. Pada tahap awal, misalnya, penyusunan Investor State Investment Negotiations (ISIN) yang seharusnya mengatur investasi dengan transparan, sering kali menjadi lahan bagi para elit untuk memanipulasi proses perizinan dan kesepakatan yang berpihak pada investor asing maupun domestik.
Kasus-kasus suap untuk mendapatkan izin lahan atau kontrak proyek menjadi fenomena yang umum dalam pelaksanaan investasi. Korupsi ini tidak hanya terjadi di tingkat birokrasi, tetapi juga melibatkan pejabat tinggi yang mengarahkan kebijakan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Akibatnya, proses pengambilan keputusan sering kali melupakan kepentingan masyarakat lokal dan malah memperbesar kesenjangan antara kelompok elit dan masyarakat biasa.
Lebih lanjut, ketika proyek-proyek besar dijalankan, dana yang dianggarkan untuk kepentingan pembangunan kerap dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu. Tidak sedikit kasus di mana kontrak-kontrak proyek disusun dengan mekanisme yang tidak transparan, dan pejabat serta perusahaan yang terlibat mengurangi kualitas atau volume pengerjaan untuk menggelapkan dana proyek. Fenomena ini jelas terlihat dalam proyek-proyek besar seperti infrastruktur jalan, bandara, maupun kawasan industri, di mana sering ditemukan penyimpangan anggaran.
Negara dan Represi terhadap Warga