Secara sosial, masyarakat adat dan komunitas lokal sering kali menjadi korban dari state capture. Mereka diusir dari tanah mereka tanpa kompensasi yang memadai, dan hak-hak mereka diabaikan dalam proses perizinan tambang. Akibatnya, konflik agraria dan ketidakadilan sosial semakin meningkat di daerah-daerah kaya sumber daya tambang.
Di sisi lain, dari perspektif ekonomi, state capture menciptakan ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan, yang bertentangan dengan agenda pembangunan berkelanjutan. Padahal, negara seharusnya berupaya mengembangkan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif, alih-alih memfasilitasi eksploitasi yang tidak terkendali oleh pengusaha tambang.
Fenomena state capture oleh pengusaha tambang merupakan ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dengan kontrol yang kuat atas kebijakan dan regulasi, para pengusaha tambang dapat memaksimalkan keuntungan mereka dengan mengorbankan lingkungan, masyarakat lokal, dan masa depan sumber daya alam Indonesia. Untuk keluar dari perangkap ini, perlu ada reformasi mendasar dalam sistem perizinan tambang, transparansi dalam proses pembuatan kebijakan, dan penguatan lembaga pengawasan seperti KPK dan kementerian lingkungan hidup.
Jika tidak ada tindakan tegas untuk menghentikan praktik state capture di sektor tambang, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus korupsi dan eksploitasi yang merusak, yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya keadilan sosial dan pembangunan yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H