Oleh:Rudi Sinaba
Indonesia, negara yang kaya dengan sumber daya alam, perlahan namun pasti dirusak oleh tangan-tangan yang tamak. Hutan, tambang, dan lahan pertanian yang dulu menjadi tumpuan hidup masyarakat kini dijarah tanpa henti oleh segelintir elit yang haus kekayaan. Sementara rakyat menderita akibat eksploitasi, para elit bersuka cita menikmati kemewahan dari hasil perampasan alam. Tak sedikit dari mereka yang membanggakan harta, padahal sebagian besar diperoleh melalui jalan yang bisa disebut "haram" -- tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang menghancurkan.
Ekspansi Perusahaan dan Hancurnya Alam
Seiring meningkatnya investasi asing dan nasional dalam sektor sumber daya alam, banyak perusahaan tambang, perkebunan, dan kehutanan terus memperluas lahan operasi mereka. Tanah-tanah adat dan lahan pertanian masyarakat sering kali menjadi korban pertama. Dalam beberapa kasus, izin konsesi dikeluarkan tanpa transparansi, merusak ekosistem yang berfungsi sebagai sumber penghidupan ribuan orang.
Di Kalimantan, misalnya, hutan hujan yang dahulu kaya dengan keanekaragaman hayati kini tersisa hanya dalam bentuk lahan gundul akibat ekspansi tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan besar, yang sering memiliki hubungan dekat dengan elit politik, mendominasi lahan ini, merampas tanah masyarakat adat yang telah dihuni selama generasi. Beberapa warga setempat mengungkapkan bahwa mereka diusir tanpa kompensasi layak, sementara janji lapangan pekerjaan dan kesejahteraan hanya tinggal janji kosong.
Seorang warga di Kalimantan Timur, Nurhadi, menyampaikan keluhannya: "Dulu tanah ini menjadi sumber kehidupan kami. Sekarang kami hanya bisa menyaksikan truk-truk besar perusahaan lalu-lalang, sementara kami terpaksa bekerja sebagai buruh dengan upah minim. Janji-janji kemakmuran hanyalah omong kosong."
Limbah Tambang dan Racun bagi Rakyat
Bukan hanya lahan yang dirampas, masyarakat sekitar juga menjadi korban pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah tambang. Di Papua, hasil investigasi menemukan bahwa perusahaan tambang besar yang beroperasi di wilayah tersebut sering membuang limbah tambangnya ke sungai-sungai yang digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Merkuri dan bahan kimia berbahaya lainnya mencemari air, menyebabkan berbagai penyakit dan menurunkan kualitas hidup masyarakat lokal.
Ali, seorang nelayan di Teluk Bintuni, Papua, menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikannya menurun drastis sejak perusahaan tambang masuk. "Air di sini sudah tercemar. Banyak ikan mati, dan kami sulit mencari nafkah. Sementara elit pemilik perusahaan terus menambah hartanya, kami menderita."
Elit Bangga dengan Kekayaan dari Hasil Eksploitasi
Yang lebih ironis, para elit yang bersekongkol dengan perusahaan-perusahaan besar ini tak segan-segan memamerkan kekayaan mereka. Dari vila mewah hingga mobil sport yang berharga miliaran, mereka tak ragu mengumbar harta yang didapatkan dari eksploitasi alam dan rakyat. Padahal, banyak dari kekayaan ini didapatkan melalui pelanggaran hak asasi manusia, perusakan lingkungan, serta korupsi yang merajalela dalam pemberian izin tambang dan konsesi lahan.
Seorang aktivis lingkungan yang ingin tetap anonim menuturkan, "Para elit ini hidup dalam kemewahan dari hasil perampokan sumber daya kita. Mereka mencemari air, menghancurkan hutan, dan mengusir masyarakat adat, namun tetap merasa bangga dengan harta mereka yang jelas-jelas diperoleh dengan cara yang tidak benar."
Perlawanan dari Masyarakat, Suara yang Dibungkam
Tak sedikit masyarakat dan aktivis yang melawan. Mereka berjuang mempertahankan tanah mereka, melawan tambang-tambang ilegal, dan menuntut keadilan di tengah eksploitasi yang brutal. Namun, perlawanan ini sering kali dibungkam oleh kekuatan modal dan politik. Dalam beberapa kasus, para aktivis lingkungan dan masyarakat yang berani menentang malah menjadi korban kekerasan atau kriminalisasi.
Seperti kasus yang terjadi di Sulawesi Tengah, di mana beberapa aktivis lingkungan ditangkap saat berusaha memprotes pembangunan tambang nikel yang merusak hutan mereka. "Kami hanya ingin mempertahankan tanah kami, tetapi kami diperlakukan seperti penjahat," ujar salah satu aktivis yang kini sedang menghadapi ancaman hukuman penjara.
Solusi atau Akhir yang Kelam?
Eksploitasi besar-besaran ini tidak hanya menyisakan kerusakan alam yang parah, tetapi juga meningkatkan ketimpangan sosial di Indonesia. Sementara segelintir elit terus mengeruk keuntungan, sebagian besar masyarakat lokal hidup dalam kemiskinan, menghadapi dampak kerusakan lingkungan yang tak dapat diperbaiki. Pertanyaan yang kini menggantung di benak banyak orang adalah: sampai kapan pemerintah akan terus mengizinkan praktik-praktik ini terjadi?
Para pengamat lingkungan menyerukan agar pemerintah segera bertindak tegas, menghentikan pemberian izin eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, dan memulihkan hak-hak masyarakat yang terampas. Namun, mengingat eratnya hubungan antara elit politik dan pemilik modal, perubahan yang nyata tampaknya masih jauh dari kenyataan.
Harta Haram yang Dibanggakan
Di tengah semua penderitaan ini, satu hal yang pasti: harta yang dibanggakan para elit ini adalah harta haram---hasil dari perusakan alam, pencemaran lingkungan, dan penderitaan rakyat. Kekayaan yang diperoleh dari penindasan, perampasan, dan pengrusakan bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Itu adalah kekayaan yang membawa kutukan bagi masa depan bangsa dan anak cucu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H