Hadis dikodifikasikan secara resmi pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.110 H/720 M) sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahrah pada al-Hadits wa al-Muhadditsun, t.t.:127).  Hadis dalam pandangan Subhi Shahih (1997: 147) dalam Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, hadis diriwayatkan baik secara mutawatir maupun ahad. Periwayatannya berbeda dengan al-Qur'an yang ayatnya diterima secara mutawatir.  Orisinalitas hadis diperlukan untuk mengetahui validitas hadis. Dalam hal ini, kajian yang berhubungan dengan sanad di antaranya adalah ilmu rijal  al-hadits. Â
Ilmu yang khusus menelaah keberadaan rawi hadis disebut dengan ilmu Rijal al-Hadits. Ilmu ini memiliki cabang yaitu ilmu tarikh al-ruwah dan ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil. Ilmu tarikh al-ruwah membahas keadaan perawi pada aktivitas periwayatan hadis. Sedangkan ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil mengkaji periwayatan hadis dari aspek diterima atau ditolaknya periwayatan.  Dari dua kajian cabang ilmu ini, ilmu rijal al-hadits membahas tentang sejarah atau biografi perawi hadis dan kajian periwayatan hadis dari aspek penilaian atau justifikasi kualitas perawi.
Baca juga: Belajar Harus dengan Guru, Cari Sanad Ilmu Harus Jelas
Dengan ilmu tarikh al-ruwah, kita dapat mengetahui kapasitas perawi dalam periwayatan hadis. Â Ilmu ini mengupas hari lahir dan wafatnya, guru-gurunya, masa mendengarkan hadis, orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya, negerinya, tempat tinggalnya, perjalanan dalam mencari hadis, waktu tiba di berbagai negeri, dia mendengar hadis dari guru-gurunya dan segala hal yang berhubungan dengan urusan periwayatan hadis.Â
Adapun pembahasan mengenai periwayatan hadis dari segi dapat diterima atau ditolak periwayatan dijelaskan pada ilmu al-jarh wa al-ta'dil. Ilmu ini memfokuskan pada kajian kualitas pribadi periwayat hadis, seperti dari segi kekuatan hafalan, kejujuran, integritas pribadi, dan berbagai keterangan lainnya yang berhubungan dengan sanad hadis.
Kajian rijal al-hadits berhubungan dengan penelitian terhadap semua personal yang menjadi perawi hadis sampai hadis dikodifikasikan pada kitab. Â Kita dapat menemukan ratus ribu perawi pada periwayatan hadis. Â Kajian ini bukan perkara yang mudah, karena pembahasannya meliputi semua perawi dengan berbagai aspeknya, terlebih menilai personal perawi.
Baca juga: Sanad Qiraah dan Keistimewaan Al-Quran
Penilaian ulama terhadap perawi cukup beragam. Terdapat ulama yang dikenal ketat, longgar, dan moderat, dalam penilaian terhadap perawi. Â al-Nasa'i (w. 303 H/905 M), Ibn al-Madani (w. 234 H/849 M) dan Jalal al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M), dikenal sebagai ulama yang longgar dalam menilai perawi hadis yang tsiqah. Ibn Qayyim al-Jauzi dipandang longgar dalam pernyataan indikasi kecacatan perawi. Sementara al-Dzahabi (w. 748 H/ 1348 M), dipandang ketat dalam menilai periwayat hadis.
Untuk mengkaji perawi ini, diperlukan kitab-kitab yang terkait dengannya. Â Mahmud Thahan (1978:107) pada Ushul al-Takhrij fi Dirasat al-Asanid menyebutkan beberapa kitab yang dijadikan referensi, di antaranya adalah Rijal al-Shahih Muslim ditulis oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Asfahani (w. 428 H), al-Jam' baina Rijal al-Shahihain karya Ibn al-Qirani (w. 507 H), al-Ta'rif bi Rijal al-Muwaththa' yang ditulis oleh al-Tamimi (w. 416 H).Â
Baca juga: Mengapa Harus Belajar Alquran dengan Metode Sanad?
Selain itu, terdapat pula kitab yang khusus memuat perawi pada kutub al-sittah seperti Tahdzib al-Kamal (al-Mizzi), Tahzdib al-Tahzdib (Ibnu Hajar al-Asqalani), dan Khulasah Tadzhib al-Kamal karya (al-Khazraji).Â