Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... PNS -

Ingin seperti padi: Semakin berisi semakin merunduk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Kesuksesan Karier Jenderal Besar Soedirman, Nasution, dan Soeharto

5 Oktober 2015   12:22 Diperbarui: 5 Oktober 2015   12:32 1869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkas:Jenderal TNI AH Nasution.png

Dalam melaksanakan ide-ide tersebut dia menggunakan sejumlah referensi (Ia memang terkenal sebagai “kutu buku”, antara lain The Red Army dan Wingate, yang selalu dibawanya kemana-mana.

Atas prestasinya itu dia diangkat menjadi Wakil Panglima Besar, berdasarkan Penpres Nomor 9 tanggal 17 Pebruari 1948. Atasannya adalah Jenderal Soedirman. Umurnya waktu itu baru 30 tahun.

Buah pikir selanjutnya antara lain, “melawan inflasi pangkat”. Juga memperbaiki tanda pangkat dari leher ke pundak. Ide-idenya itu mendapat sokongan penuh dari rekannya Mayor Jenderal Purbonegoro.

Setahun sesudah diangkat menjadi wakil Panglima Besar, Nasution yang banyak dipengaruhi pemikiran tokoh militer klasik Jerman, Karl von Clausewitz itu, diangkat menjadi Kepala Staf TNI AD (KSAD). Nasution mendapat pangkat jenderal dengan empat bintang di pundaknya ketika usianya baru menginjak 40 tahun pada 1958.
Nasution pernah menjabat sebagai Panglima Siliwangi (146-1948), KSAD (1949-1952 dan 1956-1963), Menko Hankam/KASAB (63-66), Ketua MPRS (66-72). Di jabatan terakhir itulah ia melantik Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI pada tahun 1968.

Semasa “menganggur “itu, antara 1952-1965, Nasution banyak menuliskan berbagai buah pikirannya. Antara lain mengenai postur kekuatan Angkatan Darat yang memadai untuk pertahanan negara serta komposisi yang cocok untuk penyelenggaraan sistem perang teritorial. Berbagai pemikiran itu dimuat dalam surat kabar ibukota dan mendapat perhatian luas, termasuk oleh Presiden Seokarno.

Sementara itu, di jajaran “atas” Angkatan Darat terjadi perubahan. Panglima Komando Tentara dan Teritorium V Brawijaya—pengganti Bambang Sugeng yang telah menjadi KSAD—yaitu Kolonel Sudirman, yang termasuk penentang keras Peristiwa 17 Oktober 1952, rupanya menilai Nasution masih pantas mendapat kepercayaan dan “yang paling layak memimpin AD.” Pada bulan September 1955, justru Kolonel Sudirman bersama sejumlah Panglima Tentara dan Teritorium lainnya yang mengusulkan kepada Presiden untuk kembali mengangkat Pas menjadi KSAD.

Pada tanggal 1 Nopember 1955, Pak Nas dilantik menjadi KSAD untuk kedua kali oleh Presiden Soekarno, dengan pangkat Mayor Jenderal. Pelantikan diselenggarakan di Lapangan Banteng, Jakarta. Sebelum mengatakan kesediannya untuk diangkat kembali menjadi KSAD, Nasution mengajukan syarat kepada Presiden Soekarno, yaitu mencalonkan Kolonel Gatot Subroto sebagai Wakil KSAD dan Bung Karno menyetujuinya.

Pada tahun 1956, dalam kendudukannya sebagai KSAD, Nasution menuangkan pikirannya dalam suatu brosur terbitan Pusat Penerangan Angkatan Darat. Ia menulis, demi persatuan dan kesatuan bangsa dan terpeliharanya NKRI, jalan terbaik adalah kembali ke UUD 1945.
Maraklah berbagai gerakan di daerah. Seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan PARMESTA di Sulawesi Selatan dan Utara. Semoga gerakan tersebut merupakan koreksi terhadap pemerintah pusat, akhirnya berubah menjadi gerakan separatis. Setelah berbagai pendekatan tidak berhasil, maka diberlakukanlah SOB (darurat perang) di wilayah bergolak tersebut. operasi militer pun diluncurkan secara besar-besaran. Dan berhasil.

Sementara itu, sidang Konstituante di Bandung macet total. Golongan nasionalis dan komunis tak mau lagi bersidang. Melihat situasi yang berbahaya tersebut, Nasution memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali memakai UUD 1945.

Dengan berbagai peran penting dalam pentas sejarah RI, tak heran kalau Pak Nas seperti menjadi the living legend, seorang tokoh militer yang masih hidup, dan paling berpengaruh sepanjang sejarah RI dan juga ABRI. Ketokohannya itu tercermin dari 33 bintang kehormatan yang diperolehnya dari Pemerintah RI dan pemerintah negara lainnya. Ia juga memperoleh 3 gelar kehormatan dari berbagai universitas, seperti Universitas Padjajaran, Universitas Andalas, dan Universitas Sumatera Utara. Ia juga telah menerbitkan 22 judul buku, serta ratusan tulisan dan makalah. Dan puncaknya dari semua penghargaan itu adalah sebah bintang lima yang disematkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1997.
Sukar mencari tokoh dengan deretan penghargaan sebanyak Nasution.

Berkas:General soeharto1968.jpg
Berkas:General soeharto1968.jpg

JENDERAL BESAR SOEHARTO

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun