[caption id="attachment_415773" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden, Wakil Presiden, dan jajaran menteri dalam Kabinet Kerja. (Tribunnews.com)"][/caption]
Beberapa hari terakhir, salah satu yang menjadi topik hangat diberitakan media massa adalah tentang reshuffle kabinet. Semua itu tentu bersebab-berkarena. Menariknya, wacana itu datang bukan saja dari parpol yang berada di luar pemerintahan dan pengamat, tetapi juga dari parpol, lembaga, atau orang yang ikut mengantarkan pemerintahan sekarang ini ke tampuk kekuasaan. Patut dicerna, apakah tuntutan itu murni soal kinerja, atau ada unsur lainnya seperti unsur politis. Menteri-menteri yang disorot itu adalah yang terkait dengan bidang ekonomi dan hukum.
Berdasarkan laporan media, pertumbuhan ekonomi melambat. Hal ini antara lain disebabkan oleh serapan APBN yang masih rendah, padahal sekarang sudah masuk bulan ke-5. Artinya tinggal 7 bulan lagi tahun anggaran 2015 akan berakhir. Bila pekerjaan fisik tidak segera dilaksanakan, tentu akan berpengaruh kepada kualitas pekerjaan. Rendahnya realisasi APBN itu tidak semata-mata disebabkan oleh tidak dilaksanakan program-kegiatan di masing-masing kementerian/lembaga. Tetapi juga ada kendala teknis, seperti pemberian tanda bintang pada sejumlah anggaran, sehingga dana tersebut tidak dapat digunakan. Hal inilah antara lain yang menyebabkan Dirjen Pemasyarakatan mengundurkan diri beberapa waktu lalu. Tidak kunjung cairnya anggaran tentu berpengaruh kepada program/kegiatan yang telah dirancang.
Sorotan lainnya di sektor ekonomi adalah turun harga saham sejumlah BUMN, sejak lembaga itu dipimpin Rini Sumarno. Kemudian Rini juga dinilai salah menempatkan orang-orang di sejumlah posisi penting di BUMN tersebut.
Sorotan di bidang hukum dikaitkan dengan tidak kunjung selesainya konflik KPK - Polri, kisruh Partai Golkar dan PPP. Semua ini dianggap tak lepas dari kinerja menteri yang bertugas di bidang tersebut. Seperti Menko Polhukum, Tejo, serta Kehakiman dan HAM, Yosanna H. Laoly. Menteri yang satu banyak disorot elite parpol yang bertikai, karena dianggap sebagai salah satu sumber konflik di parpol tersebut.
Menteri Yuddy Chrisnandi juga disorot karena berbagai kebijakan yang dibuat terkait PAN dan RB dinilai tidak melalui kajian yang matang. Misalnya pelarangan kegiatan di hotel, tetapi belakangan direvisi lagi. Pelarangan kegiatan di hotel akan melahirkan efek domino. Bila pendapatan hotel menurun, akan banyak karyawan di rumahkan. Sopir taksi banyak yang mengeluh karena jumlah pejabat yang berkunjung ke Jakarta berkurang drastis. Jangan ibarat marah kepada tikus tetapi lumbung padi yang dibakar. Bila ada mark-up misalnya dalam pekerjaan di hotel, itu saja yang diperbaiki. Bukan malah melarang total.
Mentri Sekneg Pratikto dan Menseskab, Andi Widjayanto, juga disorot, karena dianggap tidak memberikan info yang memadai kepada Presiden terhadap sebuah kebijakan. Itu bisa dilihat pada Kepres tentang kendaraan dinas pejabat negara yang dicabut kembali sebelum pena Presiden yang menandatanganinya kering.
Sorotan dan kritikan kepada kinerja menteri sebenarnya adalah hal wajar. Sebagai wujud kepedulian kepada pemerintah atas bertugas dengan baik dan benar.
Kebanyakan publik menganggap, yang terpilih menjadi menteri itu adalah orang-orang pilihan, sehingga harus bekerja sempurna dan dapat segera mengatasi berbagai persoalan kebangsaan.
Tetapi sorotan itu juga ada kaitannya dengan politik, tidak semuanya murni masalah kinerja. Jabatan menteri itu jabatan politis.
Dulu orang berharap pemerintahan Joko Widodo dapat menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa dengan segera. Tampaknya harapan itu tidak akan mudah terwujud. Hal ini disebabkan antara lain pemilihan menteri yang dilakukan bukanlah sepenuhnya sesuai dengan keinginannya. Tetapi mempertimbangkan faktor politis.
Tidak maksimalnya kinerja menteri kadang-kadang bukan karena kurangnya kapasitas yang dimiliki tetapi juga terkait dengan kendala teknis. Maklumlah kebanyakan dari menteri selama ini berada di luar pemerintahan. Setelah masuk barulah mereka tahu betapa banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Inilah yang kurang diperhatikan baik oleh Presiden maupun menteri itu sendiri.
Jadi, publik jangan terlalu berharap banyak kepada pemerintahan sekarang. Kalaupun diganti dengan yang baru, tidak juga menjamin kinerja mereka akan lebih baik.
Tetapi isu reshuffle kabinet itu menarik dihembuskan, sebagai alat pelecut bagi menteri-menteri untuk bekerja dengan profesional, sekaligus membuktikan bahwa Presiden memang tidak salah memilih mereka. Buktian Pak dan Bu Menteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H