1. Pengantar: Jemput Tuan dan Puan ke Provinsi Riau.
Mulai hari ini, insya allah secara bersambung, lewat tulisan, saya mengajak Tuan dan Puan jalan-jalan ke Provinsi Riau. Walaupun info tentang Provinsi Riau sudah banyak ditulis berbagai kalangan, tetap saja tulisan ini perlu dibaca. Alasannya, setiap tulisan itu mempunyai kekhasan masing-masing. Selain itu, sebagai anak jati Melayu Riau, saya terpanggil menceritakan tentang negeri “tempat beta” lahir, dibesarkan, dan kelak menutup mata. Tentu dengan sudut pandang dan gaya bahasa saya sendiri.
Saya yakin belum semua orang di Indonesia punya informasi mendalam tentang Provinsi Riau. Maka, pertama-tama Tuan dan Puan harus bisa membedakan Provinsi Riau dengan Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi Riau yang beribukota Pekanbaru, terletak di daratan Pulau Sumatera. Sedangkan Provinsi Kepulauan Riau ibukotanya Tanjungpinang, terletak di Selat Malaka, berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Dulunya kedua provinsi itu bersatu dalam Provinsi Riau, sejak tahun 1999 Provinsi Kepulauan Riau berdiri sendiri.
“Jemput Tuan dan Puan Datang ke Provinsi Riau”, itu bermakna “Silahkan datang Bapak, Ibu, Saudara-saudari berkunjung ke Provinsi Riau. Kata “Jemput” sama dengan “mengundang”. “Jemputan” sama dengan “Undangan”.
Selanjutnya kata “Tuan dan Puan”, adalah bentuk penghormatan orang Melayu Riau kepada orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua daripada kita. “Tuan dan Puan” sama dengan Bapak-Ibu. Jadi, kalau saya menyebut Tuan dan Puan, itu sebagai bentuk penghormatan saya kepada sidang pembaca, walaupun mungkin ada yang umurnya lebih muda daripada umur saya.
Ghalibnya orang Melayu, saya juga suka berpantun. Terkait dengan itu Izinkanlah saya membuka tulisan ini dengan dua bait pantun:
Buah rukam menghujung dahan
Tumbuh di paya dekat surau;
Assalamu ‘alaikum Tuan dan Puan
Perkenankan saya menulis negeri Riau
Hari petang pergi ke surau
Jalan bersama bertolan-tolan;
Saya bercerita tentang Riau
Semoga berguna bagi Tuan dan Puan
2. Pengertian Melayu.
Provinsi Riau diberi nama timangan “Bumi Melayu, Lancang Kuning”. Mengenai pengertian Melayu dapat kita simak dari buku Sejarah Riau, karya Prof. Dr. Muchtar Lutfi, 1976, sebagai berikut:
“Kata Melayu berasal dari kata “Mala” dan “Yu”. Mala artinya mula atau permulaan, sedangkan Yu artinya negeri. Melayu artinya negeri yang mula-mula ada. Pendapat ini sesuai dengan perkembangan bangsa Melayu dari daratan Asia Tenggara, pada kira-kira 2000 SM dan 1500 SM yang menyebar ke seluruh Indonesia. Jalan yang mereka lewati adalah Indonesia bagian Barat melalui Semenanjung Malaya, Sumatera dan Jawa. Dengan sendirinya mereka menetap dan melewati wilayah pulau-pulau Riau.
Pendapat lain mengatakan, bahwa Melayu berasal dari kata “layu” yang artinya rendah. Maksudnya bangsa Melayu itu rendah hati, sangat hormat terhadap pemimpinnya. Misalnya memanggil “patik” pada diri sendiri bila berhadapan dengan raja, berkata “aku”bila berbicara sama besar, dengan berkata “hamba” bila berkata dengan datuk-datuk. Adab ini bukanlah dimaksudkan rendah diri, tetapi sikap pergaulan sesuai dengan statusnya dalam masyarakat.
Istilah Melayu ini dipergunakan untuk menamakan sebuah Kemaharajaan Melayu dan Kerajaan Melayu Riau. Perkataan Melayu juga dipakai menamakan rakyat pendukung kerajaan-kerajaan tersebut sehingga terkenal sebagai suku Melayu. Istilah Melayu juga dipakai sebagai nama bahasa yang dipergunakan oleh suku Melayu, yaitu Bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini pada masa dahulu menjadi “Lingua Franca” di kawasan Asia Tenggara ini”.
***
Untuk melengkapi tulisan tersebut, kita dengar pula penjelasan UU. Hamidy, salah satu budayawan ternama di Provinsi Riau, dalam bukunya yang berjudul, Masyarakat Adat Kuantan Singingi, Uir Press, 2000, sebagai berikut:
“Pengertian orang Melayu itu dapat dibedakan atas beberapa kategori atau ketentuan. Pertama, dapat dibedakan antara Melayu Tua (proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro Melayu). Disebut Melayu Tua (proto Melayu) karena inilah gelombang perantau Melayu pertama yang datang ke kepulauan Melayu ini. Leluhur Melayu Tua ini diperkirakan tiba oleh para ahli arkeologi dan sejarah sekitar 3000-2500 SM. Adapun yang tergolong ke dalam keturunan Melayu Tua itu antara lain orang Talang Mamak, Sakai dan Suku Laut.
Keturunan Melayu Tua ini terkesan amat tradisional, karena mereka amat teguh sekali memegang adat dan tradisinya. Pemegang teraju adat seperti Patih, Batin dan Datuk Kaya, amat besar sekali peranannya dalam mengatur lalu lintas kehidupan. Sementara itu alam pikiran yang masih sederhana dan kehidupan yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan dapat membuat hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Mereka percaya, laut, tanjung, tanah, pohon, ikan, burung dan binatang liar, dihuni atau dikawal oleh makhluk halus, yang kemampuannya melebihi kemampuan manusia. Makhluk halus yang menunggu tanah disebut jembalang, makhluk halus yang mengawal binatang dan burung disebut sikodi, sedangkan makhluk halus yang menampakkan dirinya sebagai perempuan cantik disebut peri.
Maka tokoh tradisi telah mengambil tugasnya sesuai dengan jenis alam dan makhluk halus yang akan dihadapinya. Para dukun biasanya mengambil bagian untuk menghadapi gangguan makhluk halus, terutama hantu yang dipandang dapat memberi penyakit pada manusia. Bomo sering menanggulangi gangguan mahkluk halus yang lebih dahsyat, sehingga ia melakukan upacara magis untuk memanggil dan mengusir makhluk halus tersebut. Para pawang, dapat diminta jasanya untuk menangkap dan menjinakkan binatang buas dan binatang liar seperti ular, buaya, harimau, rusa dan burung kuaran, di samping dapat pula memberikan obat terhadap gigitan binatang berbisa itu. Kemantan dapat memanjat pohon sialang yang tinggi, untuk mengambil madu lebah. Semua tokoh tradisi ini telah memakai mantera, monto dan jampi serta berbagai ramuan yang juga dari alam (seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang) yang dapat menjadi obat serta sebagai alat penangkal untuk mengawal dirinya dari berbagai gangguan alam dengan makhluk halusnya.
Perkampungan puak Melayu Tua pada masa dulu jauh terpencil dari perkampungan Melayu Muda. Ini mungkin berlaku, karena mereka ingin menjaga kelestarian adat dan resam (tradisi) mereka. Begitu dalam nikah-kawin, mereka masih sedikit berbaur dengan Melayu Muda dan suku lainnya. Pembauran dengan Melayu Muda baru terjadi setelah mereka memeluk agama Islam sebagaimana yang terjadi pada Sakai Batin Salapan dan Batin Lima, yang diislamkan oleh khalifah murid Tuan Guru Abdul Wahab Rokan penganut tarekat Naksyahbandiyah. Inilah sebabnya mereka juga pernah disebut suku masyarakat terasing sebab mereka masih terasing (terpisah) dari masyarakat kebanyakan, baik dalam hal permukiman (tempat tinggal) maupun dalam budaya atau sektor kehidupan lainnya. Keadaan ini menyebabkan mereka amat ketinggalan dalam pendidikan, sehingga kemajuan kehidupan mereka amat lambat sekali.
Melayu Tua merujuk kepada puak Melayu yang leluhurnya datang ke kepulauan Melayu ini sekitar 300-250 tahun SM. Keturunan puak Melayu inilah yang kemudian mendirikan kerajaan Melayu, mulai dari kerajaan Melayu yang masih menganut agama Hindu-Budha seperti Sriwijaya (abad ke 7 sampai abad ke 11) diikuti oleh kerajaan Melayu Islam seperti Malaka, Johor-Riau, Riau-Lingga, Siak Sri Indrapura, Indragiri, Rantau Kuantan, Rantau Binuang Sati, Rambah, Kampar, Pelalawan, Tambusai, dsb. KeturunanMelayu Muda, telah memeluk Islam paling kurang sejak raja Melaka Prameswara masuk Islam tahu 1414 Masehi, lalu mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Iskandar Syah. Maka asas kehidupan masyarakat Melayu yang sebelumnya tersimpul dalam adat dan resam hasil rancangan leluhur yang menganut Animisme-Hinduisme, lalu bergeser dan berpijak kepada jalan hidup yang lurus yakni agama Islam. Oleh sebab itu alur hidup mereka disebut juga adat (dan resam) bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Ini bermakna, adat dan resam sebagai hasil ketajaman pikiran dan kearifan budi pekerti leluhur mereka, niscaya tidak bisa bersifat qadim (kekal abadi) tetapi mestilah rusak oleh pergantian ruang dan waktu serta perubahan semangat hidup tiap zuriat atau generasi. Karena itu, agar adat dan resam tetap terpelihara, harus berpijak atau diberi dasar pada syarak (hukum Allah dan Rasul-Nya) sebab inilah hukum yang norma dan nilainya terjamin tidaka akan rusakoleh putaran bumi dan peredaran masa. Jika adat dan resam tidak bertumpu pada agama Islam, ibarat tiang yang tidak bersendi, yang akan lapuk oleh tanah dan tempias. Begitu jugalah adat dan tradisi, jika tidak mengindahkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, niscaya akan rusak dimakan bisa kawi.
Kehadiran agama Islam ke dalam kehidupan puak Melayu Muda, tidak hanya sebatas menapis adat dan tradisinya, tetapi juga berakibat terhadap bahasa yang mereka pakai. Sebab tentulah suatu hal yang ganjil, jika suatu masyarakat memeluk Islam, sedangkan bahasa yang menjadi pendukung potensi budayanya tidak Islami. Karena itu bahasa dan budaya Melayu Muda juga mendapat sentuhan dan pengaruh Islam, sehingga hasilnya budaya Melayu menjadi satu diantara 5 budaya Islam di dunia ini. Budaya Melayu itu ada disepuh dengan Islam, ada yang mendapat proses Islamisasi dan ada pula yang merupakan hasil kerativitas orang Melayu yang Islami. Akibatnya, penampilan orang Melayu akan memperlihatkan agamanya (islam) adat dan resam yang bercitra Islam dan bahasa Melayu yang mengandung larutan agama Islam. Tentulah atas kenyataan ini orang Cina yang masuk agama Islam disebut oleh kaum kerabatnya masuk Melayu.Meskipun kita melihat ada perbedaan antara Melayu Tua dengan Melayu Muda, namun kedua keturunan puak Melayu ini masih punya kesamaan kultural. Orang Melayu itu akan selalu menampilkan budaya perairan (maritim). Mereka adalah munusia perairan, bukan manusia pegunungan.Sebab, mereka menyukai air, laut, dan suka mendiami daerah aliran sungai, tebing pantai dan rimba belantara yang banyak dilalui oleh sungai-sungai. Sebab itu budaya mereka selalu bekaitan dengan air dan laut, seperti sampan, rakit, perahu, jalur, titian, berenang dan bermacam perkakas ikan seperti jala dan kail.
Pada penggal kedua, pengertian orang Melayu juga dapat dipakai terhadap pihak yang telah nikah-kawin dengan pihak Melayu Tua maupun Melayu Muda. Dengan nikah-kawin tentulah pelaku dan keturunannya akan mempunyai tingkah laku sesuai dengan sistem nilai yang dianut puak Melayu. Dalam hal ini dapat ditemukan bagaimana orang Bugis telah nikah-kawin dengan puak Melayu Riau-Lingga. Keturunan mereka telah mendapat kedudukan dengan jabatan Yang Dipertuan Muda dengan gelar Raja, di bawah keturunan Melayu yang menjabat Yang Dipertuan Besar dengan gelar Sultan. Keadaan yang demikian juga berlaku terhadap keturunan Arab yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu keturunan Siak, sehingga mendapat kedudukan sebagai Sultan dalam kerajaan itu. Dari 12 orang raja atau sultan kerajaan Siak, 6 orang yang terakhir adalah keturunan Arab.
Perantau Banjar di Indragiri, jua telah diterima dengan baik oleh kerajaan itu. Akibatnya keturunan mereka juga menjadi bagian masyarakat dan kerajaan. Keturunan Banjar telah diangkat menjadi mufti kerajaan. Seorang diantara mufti kerajaan Indragiri yang terkenal ialah Tuan Guru Abdurahman Siddik bin Muhammad Apip, yang telah menjadi mufti tahu tahun 1907-1939. Tuan ini meninggal 10 Maret 1939, lalu dimakamkan di Parit Hidayat dekat kora kecil Sapat, Kuala Indragiri. Sejumlah Romusha (pekerja paksa olej Jepang) adal Jawa, juga telah nikah-kawin dengan puak Melayu Kampar di Perhentian Marpuyan, Pekanbaru. Keturunan mereka telah kehilangan jejak budaya Jawa, lalu tampil dengan budaya Melayu puak Kampar.
Pada penggal ketiga, dalam rentang yang lebih panjang, mungkin saja seseorang atau satu keluarga menyebut dirinya orang Melayu, karena telah begitu lama menetap di kampung orang Melayu. Mereka walaupun belum melakukan nikah-kawin dengan salah satu puak Melayu tadi, tapi karena dibesarkan dalam lingkungan masyarakat dan budya Melayu atau mendapat peranan dalam sistem sosial dan sistem nilai orang Melayu, akhirnya merasa diri mereka sebagai bagian dari masyarakat Melayu di mana mereka tinggal. Mereka meninggalkan orientasi budaya negeri asalnya, lalu memakai bahasa dan baju orang Melayu. Contoh yang paling baik dalam hal ini ialah Lebai Wahid (ayah sastrawan Riau Soeman Hs) dengan keluarganya. Lebai Wahid merantau ke Bengkalis, lalu mendapat kedudukan sebagai lebai (ulama) dalam masyarakat melayu Bengkalis, suatu kedudukan yang dipandang mulia oleh orang Melayu. Kemudian Soeman Hs lahir di Bengkalis tahun 1904, lalu dibesarkan dalam lingkungan budak-budak Melatu di situ. Walaupun Pak Soeman, masih memakai Hs (Hasibuan) di ujung namanya, itu hanya sekadar kenang-kenangan agar tidak mengingkari sejarah. Namun begitu tidak sedikit pun dia merasa dirinya sebagai orang Batak. Bahkan selama umurnya yang mencapai 96 tahun, tak pernah dia rindu untuk melihat kampung halaman ibu-bapaknya. Penampilannya malah terkesan lebih Melayu lagi daripada orang Melayu yang bermukim di Riau.
Di samping itu ada cara yang khas, bagi perantau yang ingin menjadi warga suatu suku atau puak Melayu. Perantau itu mula-mula mencari induk semang. Induk semang adalah orang yang mau memberikan perlindungan sosial. Jadi di rumah induk semang itulah biasanya perantau itu menumpang. Setelah itu barulah dia mencari orang yang akan dijadikan ibu atau saudara. Biasanya induk semang itu jika tak ada masalah, akan menjadi ibu perantau, sehingga anak induk semang menjadi saudara atau dunsanak. Untuk meresmikan perantau ini mempunyai ibu dan saudara itulah diadakan upacara adat. Di Kuantan Singingi upacara itu disebut gito atau bagitu, artinya bersuka hati sebab kedua belah pihak telah sama-sama bersuka hati untuk menjadi satu keluarga, sehingga juga menjadi warga suku Melayu negeri itu. Dalam upacara gito tersebut disembelih hewan untuk makan bersama sambil memperkenalkan pemangku adat dan warga suku kepada si perantau yang sekarang menjadi anak kemenakan suku tersebut. Peristiwa masuk suku inilah yang sebenarnya terkandung dalam pantun Melayu di bawah ini,
Kalau anak pergi ke lepau
Yu beli belanak beli
Ikan sembilang beli dahulu;
Kalau anak peri merantau
Ibu cari saudara cari
Induk semang cari dahulu.
Inilah pengertian orang Melayu yang terbatas pada asal usul puak, dilengkapi dengan kategori agama (Islam) serta kategori adat, resam dan bahasa. Pengertian ini bisa dipakai pada daerah yang berpenduduk tradisional Melayu, seperti Deli dan Langkat di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Palembang dan Betawi. Di luar ini masih ada pengertian orang Melayu hanya sebatas bahasa dan budaya seperti Melayu-Polinesia atau Austronesia, yang kawasannya terentang mulai dari Pulau Pass di Lautan Teduh (sebelah Timur) sampai ke Madagaskar di Barat, serta Pulau Formosa atau Taiwan di Utara sampai New Zealand di Selatan. Inilah rumpun Melayu yang terbesar, yang mempunyai persamaan bahasa serta persamaan budaya seperti suka makan sirih dan asam-asaman. Sementara di Malaysia berlaku pengertian orang Melayu yang khas. Di sana semua penduduk keturunan Cina, Keling, orang kulit putih dan berbagai suku bangsa lainnya yang belum masuk Islam, dipandang bukan orang Melayu. Sementara suku Jawa, Makasar, Banjar, dan berbagai suku Nusantara ini yang telah masuk agama Islam akan diperlakukan sebagai orang Melayu”.
3. Asal Nama Riau.
Dalam buku Sejarah Riau, karya Prof. Dr. Muchtar Lutfi, 1976, dijelaskan sebagai berikut:
“Secara etimologi ada bermacam-macam pendapat tentang asal kata “Riau” ini. Kata Riau berasal dari kata “Rio” (Bahasa Portugis) yang berarti “sungai.” Misalnya Rio de Janairo, artinya sungai Januari. Di pulau Bintan ada sebuah sungai yang bernama Rio, yaitu sungai Rio. Dari kata Rio ini berubah menjadi Riau. Orang Belanda menulis kata Riau ini dengan “Riouw”. Sekarang dikenal tulisan Riouw dengan perkataan Riau saja.
Ucapan sehari-hari dalam masyarakat Siak dikenal kata “meriau” artinya musim ikan bermain-main. Di Kuantan meriau dimaksudkan suatu cara mengumpulkan ikan pada suatu tempat untuk mudah ditangkap dalam jumlah yang lebih besar. Dari meriau ini menjadi kata Riau.
Di samping itu dalam masyarakat Kepulauan, dikenal pula kata “Rioh”. Kata Rioh berarti suara yang ramai di pusat kerajaan Melayu Riau. Pusat kerajaan itu terletak di sebelah hulu sungai Carang. Ramainya suara karena kesibukan perdagangan yang ke luar masuk pusat kota. Pusat perdagangan itu terkenal dengan nama “Bandar Rioh” yang didirikan oleh Sultan Ibrahim Syah (1671-1682) dalam Kemaharajaan Melayu.
Bila dihubungkan pengertian Rio yang artinya sungai dengan kata Rioh yang artinya suara yang ramai, terdapat suatu pengertian yang bersamaan. Sebabnya sungai Riau ini terletak pada arus lalu lintas perdagangan internasional di Selat Melaka sejak dahulu sampai sekarang. Maka pengertian Riau di sini adalah ramai dikunjungi oleh para pedagang. Dalam perkembangan selanjutnya kata Riau dipergunakan untuk menamakan pulau-pulau yang terletak sebelah Tenggara Semenanjung Malaya. Kesatuan pulau-pulau itu terkenal pula dengan istilah “Pulau Segantang Lada.” Dalam pengertian sekarang, Riau adalah sebuah Provinsi di bagian tengah pulau Sumatera”.
3. Lancang Kuning
Lancang kuning berasal dari kata “lancang” (perahu kebesaran kerajaan) dan kuning” (warna kebesaran kerajaan). Lancang Kuning adalah nama perahu besar kerajaan yang digunakan sebagai kendaraan air oleh raja-raja Melayu Riau. Adapun legenda atau cerita rakyat ini diangkat dari nama itu, karena legenda ini menceritakan peristiwa yang terjadi dalam lingkungan kerajaan.
Sinopsis Lancang Kuning
Suatu hari, Datuk Laksamana pemimpin Bukit Batu Bengkalis di Riau, memanggil dua panglimanya, yaitu Panglima Umar dan Panglima Hasan menghadap ke istana untuk diberi tugas ke Tanjung Jati menumpas perompak atau lanun yang selalu mengganggu kawasan tersebut di Senggoro kawasan mana tempat mata pencarian nelayan Bukit Batu. Dengan ketaatannya, Panglima Umar langsung berangkat melaksanakan tugas ini, meskipun harus meniggalkan istrinya yang cantik bernama Zubaidah. Sementara itu Panglima Hasan tidak ikut berangkat melaksanakan tugas itu, karena ternyata berita adanya perompakan di Tanjung Jati itu hanyalah rekayasa siasat Panglima Hasan sendiri agar Panglima Umar jauh dari isterinya Zubaidah dan Datuk Laksamana.
Selama kepergian Panglima Umar, diam-diam Panglima Hasan berusaha merayu Zubaidah agar mengkhianati suaminya dan menjanjikan kehidupan lebih baik, namun Zubaidah bertahan dengan kesetiaan dan marwahnya. Situasi ini membuat hati Panglima Hasan semakin marah dan brutal. Panglima Hasan mencari akal menghabisi Zubaidah. Nah,bertepatan ketika peluncuran Lancang Kuning ke air, tiba-tiba Lancang Kuning berhenti tidak bergerak sama sekali, maka Panglima Hasan memutuskan mengambil Zubaidah sebagai tumbal untuk galangan lancang. Dengan bergalangan tubuh Zubaidah, maka lancang berhasil diluncurkan ke laut dan Zubaidah pun mengakhiri hidupnya di bawah lancang.
Tak lama setelah kematian Zubaidah, Panglima Umar yang baru pulang dari Tanjung Jati mendapat fitnah yang dibuat oleh Panglima Hasan sendiri, bahwa Datuk Lasemana lah yang membunuh Zubaidah dengan menjadikan tubuh Zubaidah sebagai tumbal galangan lancang. Hasutan Panglima Hasan ini termakan oleh Panglima Umar dan membuat Panglima Umar menjadi kalap dan amat marah. Tanpa pikir panjang Panglima Umar membunuh Datuk Laksemana. Detik-detik menjelang ajalnya Datuk Laksemana memberi sumpah kepada Panglima Umar, bahwa apabila Panglima Umar melewati Tanjung Jati, akan tenggelam bersama kapalnya.
Setelah itu barulah Panglima Umar sadar akan fitnah itu, pertikaian dengan Panglima Hasan pun terjadi, dan berakhir dengan kematian Panglima Hasan yang tragis di ujung keris Panglima Umar.
Panglima Umar pun pergi menjalankan kutukan dari Datuk Laksemana, berlayar keperairan Tanjung Jati dan tenggelam. Sejak saat itu pulau Bengkalis dikenal daerah yang sangat sepi dari penduduk dibandingkan masyarakat di daerah Riau lainnya sampai sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H